III

Pangku Dilupakan | bandatourism.blogspot.com

21.37
0 komentar


Pada hari Sabtu seperti biasa saya jalan-jalan bersama keluarga karena tidak ada kegiatan kantor, pada hari itu arah saya menuju jalan arah Medan dan melintasi jembatan Sungai Pantan Labu yang  merupakan perbatasan Kabupaten Aceh utara dengan Kabupaten Aceh Timur.



Selang sekitar empat kilometer saya membaca pamplet bahwa daerah tersebut bernama Paya Demam dan ada persimpangan sebelah kiri tertulis Jalan Pang Burik, sambil mengemudi saya berfikir bahwa kata-kata Burik mempunyai arti dalam bahasa Gayo yaitu orng yang berkulit tidak mulus, dan saya tidak pernah dengan ungkapan ini dalam bahasa Aceh pesisir, walaupun mungkin ada tapi tidak pernah saya dengar. Sambil berfikir saya berasumsi kemungkinan Pang Burik adalah orang Gayo atau minimal punya keturunan dari etnis Gayo.

Setelah sekembalinya saya dari daerah Idi menuju Lhoksukon, saya langsung belok kanan dan saya bertanya pada seseorang dipinggir jalan dengan sebelumnya saya mengucapkan salam dan sambil bertanya mengapa jalan tersebut dinamakan Jalan Pang Burik, orang tersebut mengatakanbahwa di daerah tersebut ada makam Pejuang bernama Pang Burik, karena penasaran saya bertanya darimana asal Pang tersebut, dan langsung dijawab asai jieh Takengon awak Gayo, mendengar jawaban itu tubuh saya bergetar kuat bahwa saya harus tahu siapa penjuang tersebut, dengan jalan pertama saya berziarah dan mendoakannya sebagaimana layaknya berziarah ke perkuburan.

Anan Inen Jawi adalah keponakan Pang Burik yang ikut ziarah dimakam pamannya

Pada bulan Ramadhan 1432 Hijiriah saya pernah menulis di diding Ruang Ngune yang di buat oleh Ama Yusra Habib Abdul Gani, bahwa siapa yang mengetahui sejarah Pang Burik? Namun  belum terdapat jawaban yang memuaskan.

Setelah Ramadhan berlalu saya berusaha mencari informasi dengan meneliti tempat pemakaman yang terletak di bagian pesisir timur Aceh, saya berasumsi bahwa bila Pang Burik memang beretnis Gayo maka hipotesis saya bahwa Dia berasal dari Gayo Sumamah(Lukup Serbejadi) wilayah Kejurun Abuk (Merah Abuk).

Karena keingintahuan yang begitu kuat saya langsung menuju daerah Lukup Sebejadi karena turunan muyang pertama kami ada di daerah ini (keturunan dari Reje Petiamang Gayo yang juga membangun mesjid Asal kampung Penampaan Gayo Lues), sesampai di Kampung Lukup saya menjumpai Nenek Inen Jawi yang sudah berumur sekitar 90 tahun dan masih belum pikun.

Makam Pang Burik bersama 11 rekannya yang dimakamkan di Paya Demam Aceh Timur

Ternyata Pang Burik adalah Paman kandungnya, Pang Burik bernama Beni bin Kasim, untuk mengenang pamannya Nenek juga menambalkan nama Beni untuk anak bungsunnya yaitu Syah Beni yang saya panggil dengan Ama Lukup yang sekarang berdomisili di Kampung Penarun Aceh Timur. Selanjutnya siapakah Pang Burik maka nenek berpesan bahwa yang mengetahui sejarah Pang Burik adalah H. Saleh Suddin (Jadun) di Rubik (Tanah merah Aceh Utara), Karena Pedang Pang Burik juga sudah diserahkan pada H. Saleh Suddin yang merupakan teman seperjuangan beliau.

Dorongan yang kuat untuk mengetahui siapa Pang Buriklangkah terakhir saya adalah menuju Kampung Tanah Merah Kecamatan Lubuk Pusaka Kabupaten Aceh Utara secara geografis lebih dekat dengan dengan domisili dan masih termasuk ke dalam daerah hukum saya sehingga lebih memudahkan saya untuk mendapatkan informasi.

H. Saleh Suddin saksi sejarah yang masih hidup merupakan rekan pang Burik yang selamat, sedang memegang Pedang pang Burik.

Pada hari yang telah saya rencanakan saya menuju daerah Tanah Merah melalui jalan Line Pipa Exxon Mobil yang ditemani oleh beberapa anggota yang lebih mengetahui daerah ini, sampai di tanah merah kami melapor pada kepala Desa Lubuk Pusaka saudara Alimat yang juga orang Gayo, mengetahui saya juga orang Gayo maka kami seperti saudara lama yang baru berjumpa dan sangat senang atas kedatangan kami, setelah mengetahui kedatangan kami maka H Saleh Suddin (Pang Jadun) yang sudah berumur sekitar 93 tahun yang masih segar bugar bercerita tentang datunya yaitu Pang Akob yang juga guru dari Pang Burik dengan cerita sebagai berikut:

Pang Akob mempunyai empat rekan yang bernama Pang Cik (adik kandung Pang Akob), Pang Bedel, Pang Lateh (Matang Kuli dari suku Aceh) dan keponakannya bernama Pang Ben, keempat Pang ini berjuang dijaman penjajahan Belanda yang satu angkatan dengan pahlawan nasional Cut Meutia yang  lahir di Pirak, Keureutoe, Aceh Utara tahun 1870 dan wafat di Alue Kurieng 24 Oktober 1910. Pusat Pertahanan pang Akob bnersama pasukan Muslimin adalah  daerah Tedet kemukiman Samar kilang sekarang masuk wilayah Kabupaten Bener Meriah.

Pedang Pang Akob

Pada sebuah pertempuran dengan Belanda di daerah Ranto panyang, Bidari Lukup SerbejadiAceh Timur Pang Bedel Syahid, setelah Pang bedel Syahid ke empat Pang Menghilang yaitu Pang Akob, Pang Cik, Pang Lateh (Matang Kuli) dan Pang Ben, sehingga keluarga tidak mengetahui dimana para Pang ini berada, menurut beberapa cerita bahwa Pang ini bisa muncul bagi orang-orang tertentu terutama Pang Akob yang dianggap banyak muridnya sudah menjadi Aulia Allah. Salah satu muridnya bernama Beni Bin Kasim (Pang Burik) yang berasal dari Lukup Serbejadi, sama seperti Pang Akob juga melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, Pang Akob mengirim surat pada keluarganya yaitu Pang Abdullah Bin Sakdan (Tengku Kuala) di Simpang Jernih dan kepada keponakannya Aman Pentar di Rubik (Tanah Merah) surat yang bertuliskan dengan tinta getah kayu merbo, yang isi ringkas suratnya, bahwa nanti akan terjadi lagi peperangan oleh karena itu seluruh keluarga diungsikan ke Rubik (Tanah Merah), karena perintah tersebut maka ada 12 orang pada gelombang pertama yang ditugaskan untuk membuat permukiman di Rubik yaitu:
  1. Aman Pentar (Kakek)
  2. Aman Nilem (Paman)
  3. Aman Belang
  4. Aman Pecara
  5. Salim
  6. Dollah
  7. Rasep

    Pedang Pang Burik 

  8. Maksyah
  9. Kasim
  10. Bakar
  11. Mukmin
  12. Aman Tui
Setelah pemukiman selesai dibuat maka datang gelombang kedua dengan jumlah 75 Kepala keluarga sehingga terbentuk kemukiman Aman Pinter. Makam Pang Akob, Pang Cik, Pang Ben dan Pang Lateh berada di Tualang Pasir Putih Samar Kilang kira-kira 6 Jam perjalanan dari tanah Merah dengan menaiki Boat (kapal kecil) menyusur sungai Jambo Air (wihni Kala Jemer) dan berjalan kaki selama 2 jam untuk mencapai makam tersebut.

Seperti tercatat dalam sejarah DI/TII Aceh pada  tanggal 20 September 1953 memproklamasikan daerah Aceh sebagai bagian dari Negara Islam, maka sebagian para pang Gayo juga menjadi bagian dari Tentara Islam Indonesia (TII) yang memperjuangkan ideologinya. Pang Burik yang diperintahkan oleh Pang Akob melalui Pang Abdullah Bin sakdan(Tengku Kuala) untuk menguasai Kota Pante Labu (Panton Labu) pada hari Rabu jam 7 pagi…(tanggal dan tahunnya tidak ingat) akan tetapi pada kurun waktu tahun 20 September 1953 s.d 9 Mei 1962 (Priode DI/TII Aceh). Namun perintah ini tidak diindahkan oleh Pang Burik dia lebih memilih menghadang 13 truk Mubrik di Paya Demam yang dihadapi oleh pengikutnya berjumlah 23 orang dengan senjata dan Pedang, dengan kepala yang diikat kain putih, dari penghadangan tersebut 12 orang tewas dan 11 orang selamat, yang tewas berurutan dikuburkan di Paya Demam Aceh Timur yaitu:
  1. Beni Bin Kasim (Pang Burik)
    Pedang H. Saleh Suddin
     
  2. Pang Usma
  3. Pang Plite
  4. Pang Otan (aman Mulie)
  5. Pang Runi (menantu Pang Burik)
  6. Pang Muse Bin Rasep
  7. Ladam Bin Ali
  8. Usuf
  9. Resat
  10. Samin
  11. Udin
  12. Brahi
Dari sebelas orang yang selamat yang tersisa hanya H. Saleh Suddin (93 tahun), yang berdomisili di Tanah Merah Desa Lbuk Pusaka Kabupaten Aceh Utara.

Melalui tulisan ini, mungkin ada penulis-penulis muda yang ingin menggali sejarah ini melalui penelitian ilmiah maka akan sangat berguna bagi perkembangan sejarah pejuang Gayo yang selama ini tidak dipublikasikan. Wallahu a’lam bissawab, berizin.

 Sahdansyah Putera Jaya*
*Pemerhati Sejarah dan Budaya Gayo

by lovegayo.com

If You Enjoyed This Post Please Take a Second To Share It.

You Might Also Like

Stay Connected With Free Updates

Subscribe via Email

0 komentar: