III

Mereka Tidak Sayang pada Tompu | bandatourism

06.29
0 komentar



Orang Tompu atau To Ritompu demikian mereka biasa menyebut dirinya adalah sub Suku Kaili yang menggunakan bahasa Kaili berdialek Ledo. Pemukiman mereka tersebar di beberapa Boya (kampung), puncak gunung sebelah Timur Kota Palu. Secara administrasi, tempat ini terletak di Desa Ngata Baru, Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.

Muski tidak diketahui secara pasti, namun orang Kaili yang merupakan salah satu suku asli di Sulawesi Tengah itu sudah mendiami tempat tersebut jauh sebelum adanya Negara Republik Indonesia. 

Mereka Yang Disingkirkan

Sejarah penyingkiran terhadap orang Tompu sebenarnya telah berlangsung lama. Menurut Papa Jani, proses itu dimulai tahun 1927, ketika kolonial Belanda mulai menduduki Sigi Biromaru.

Kekayaan alam yang dimiliki warga Tompu memancing reaksi Belanda untuk datang menguasainya. Akan tetapi, niat buruk kompeni itu mendapat tentangan dari warga. Dan, terjadilah pertempuran hebat pada saat itu.

Tapi karena hanya bersenjatakan seadanya, orang Tompu pun kuwalahan. Korban mulai berjatuhan di pihak warga. Oleh mereka, dikuburkan secara massal di Boya Sidima, Tompu.

Sejak saat itu, pemerintah kolonial dengan leluasa bisa mengambil seluruh kekayaan alam yang ada di Tompu, seperti damar, cendana, kayu manis dan kemiri. Untuk mempermudah proses pengangkutan, mereka memaksa penduduk untuk membuat jalan lingkar menuju ke kantong-kantong hutan kayu manis dan damar. Selain itu, para warga juga diminta untuk membayar blasting (pajak) ke pihak kompeni atas penggunaan tanah di tempat itu.

Hal itu mendapat reaksi keras dari warga. Menurutnya, mereka tidak pernah memiliki hutang sama pemerintah Belanda. Karena menolak bayar pajak, sebagian dari mereka kemudian memilih untuk meninggalkan perkampungan tersebut dan masuk ke hutan di daerah Manggalapi, dekat perbatasan Kabupaten Parigi Moutong hingga sekarang ini.

Menurut Papa Asa (69), salah seorang tokoh adat setempat, sebelum tahun 1927, Tompu sudah otonom dan punya sistem pemerintahan sendiri. Terhitung, ada tujuh Kapala Ntina (setingkat dengan kepala kampung) yang sempat menjadi pemimpin di tempat itu. Yang pertama adalah, Rapeyangga Ngata, kedua Yabakita, ketiga Kitanava, keempat Lamatoti, kelima Silinava, keenam Yavaringgi, dan ketujuh adalah Manasele.

Manasele menjabat dari tahun 1945 hingga 1975. Setelah itu, tidak ada lagi kepemimpinan baru di Ngata Tompu. Karena sejak tahun 1975, perkampungan itu telah dibubarkan secara paksa oleh pemerintah dengan alasan masuk dalam kawasan hutan lindung.

Melalui dinas kehutanan dan aparat keamanan, pemerintah mendesak warga untuk mengosongkan perkampungannya. Mereka dipaksa pindah ke beberapa desa yang telah disiapkan oleh pemerintah. Beberapa pemukiman warga di Boya Bulili dibakar oleh Badu, salah seorang anggota kepolisian dari sektor Palu Timur.

"Kami tidak bisa berbuat apa-apa pada saat itu, kecuali pasrah. Karena mereka mengancam akan memasukkan kami ke penjara jika membangkang," ungkap Papa Santa, salah seorang warga Tompu,

Dengan mobil truk, mereka diangkut ke Desa Rahmat, Kecamatan Palolo jaraknya sekitar 50 km dari Tompu. Di tempat baru ini, pemerintah telah menyiapkan sebuah rumah panggung sederhana dan lahan seluas 2 hektar untuk setiap keluarga. Disamping itu, pemerintah juga memberikan bahan makanan selama beberapa bulan serta peralatan kerja, seperti parang dan cangkul.

Meskipun diberi sejumlah fasilitas oleh pemerintah, warga Tompu tidak merasa betah di tempat itu. Sebab mereka tidak bisa secara leluasa mengembangkan tradisi berladang padi akibat terbatasi oleh masyarakat dari komunitas lain yang berbaur dengan mereka di tempat baru tersebut. Hal lain, menurut penuturan warga, lahan yang diberikan pemerintah adalah lahan basah yang hanya cocok buat sawah. Sedangkan mereka tidak punya keterampilan bertani di lahan basah.

Pada beberapa kasus, tanah yang diberikan pemerintah pada warga Tompu adalah tanah milik penduduk lain. Dan ini seringkali menimbulkan konflik antar sesama warga. "Untuk menghindari terjadinya konflik, kami selalu mengalah," ujar Kobo, warga Tompu.

Atas persetujuan Efendi Dg. Pawara, Camat Sigi Biromaru pada saat itu, warga Tompu akhirnya menyingkir ke Vatubose, masih dalam wilayah desa Rahmat. Di tempat itu, mereka mulai menanam beberapa tanaman produksi, seperti kakao dan kopi. Ketika tanaman mereka sudah berbuah, muncul lagi soal baru. Kali ini datang dari pihak Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL).

Lembaga konservasi milik pemerintah itu memasang patok-patok pal batas tepat di lokasi perkebunan warga. Secara sepihak, tempat itu ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Akibatnya, warga Tompu semakin tersingkir. Dan, itu kemudian membuat mereka rindu untuk segera kembali ke kampung leluhur.

Untuk menghindari terjadinya konflik berkepanjangan, tahun 1998, "Kami dan sejumlah warga lainnya sepakat untuk pulang ke Tompu hingga sekarang ini," kata Papa Jani.

Namun saat mereka kembali, ada banyak perubahan yang terjadi di kampung itu. Sejumlah hutan mulai rusak akibat adanya penebangan kayu yang dilakukan pihak luar. Hal itu kemudian menyebabkan keringnya mata air yang dulunya melimpah nan jernih.


by Ewin Laudjeng

If You Enjoyed This Post Please Take a Second To Share It.

You Might Also Like

Stay Connected With Free Updates

Subscribe via Email

0 komentar: