Mesin dihidupkan. Baling-balingnya menyemburkan buih di atas permukaan air. Pelan-pelan kapal motor Rizki Jaya memutar haluan dari sisi Dermaga Lampulo, Banda Aceh. Kini badan kapal kayu itu ada di tengah sungai. Arahnya, tentu saja ke muara di Ulee Lheue.
Perahu besar ini akan menuju ke Pulo Aceh. Pulau dalam bahasa Aceh disebut Pulo. Dan Pulo Aceh satu-satunya kecamatan kepulauan di wilayah administratif Aceh Besar.
Kecamatan ini terbentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1983 dengan Ibukota Lampuyang. Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 Kecamatan Pulo Aceh juga termasuk dalam Wilayah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.
Kondisi topografi desa-desa di Pulo Aceh umumnya terletak di tepi pantai, perbukitan, dan area dataran.
Pulo Aceh memiliki banyak kampung. Salah satunya Lampuyang, tempat perahu ini berlabuh. Selain itu, ada 16 desa lagi di kecamatan yang luasnya 240,75 kilometer persegi ini.
Walau sama-sama masuk dalam wilayah Badan Pengusahaan Kawasan Sabang, sarana jalan di Pulo Aceh masih terbatas. Maksudnya, jalan ada. Itu pun sekadarnya.
Kali ini saya dan teman hendak menyambangi sebuah mercusuar tua di Kampung Meulingge, beberapa mil dari Lampuyang. Katanya, mercusuar ini peninggalan kolonial Belanda. Namanya mercusuar Willem's Torren.
Karena susah mencari kendaraan darat di Pulo, kami tertantang mencapai mercusuar itu dengan sepeda.
Seperti umumnya perahu ke Pulo, tak ada tempat khusus untuk kendaraan. Geladak depan perahu adalah tempat yang ditunjuk pawang bot. Maka, di situlah dua sepeda tersebut “parkir” sementara.
Jangan heran, perahu ke Pulo ini memang bukan khusus didesain sebagai perahu penumpang. Jamaknya bot besar pencari ikan, begitulah perahu yang kami tumpangi ini.
Segala muatan bisa ada di perahu ini. Kadang kala ada orang Pulo membawa sapi atau kerbau untuk dijual ke daratan dengan perahu semacam ini. Kalau soal harga angkut, tentu beda dengan ongkos penumpang. Silakan nego dengan sang pilot, yakni pawang bot.
Siang itu amat terik. Apalagi jika di tengah laut, panasnya kian menjadi. Tapi kucuran keringat dengan cepat dibabat angin. Lumayan.
Apalagi ketika melihat ke kiri. Ada gundukan Goh Leumo, gunung kecil yang topografinya mirip punuk kerbau di sudut Ujung Pancu, Aceh Besar.
Maka, sepoi angin dan Goh Leumo adalah “bonus” dari dibakar matahari. Oya, kalau melihat ke selatan ada Sabang. Pulau Weh itu terlihat seperti Gunung Seulawah di tengah lautan.
Dari Lampulo ke Lampuyang hanya dua jam. Tak terasa memang. Orang pulau itu ramah-ramah. Kami ngobrol sembari bercanda. Mereka langsung tahu kalau kami dari “Aceh”. Sebutan daerah daratan bagi orang pulau. Terserah kami berasal dari daerah mana, sebutannya tetap dari Aceh.
Perahu menambatkan tali di Dermaga Lampuyang yang terbuat dari batang kelapa. Awak perahu membongkar muatan. Penumpang turun satu-satu. Satu orang membayar Rp15 ribu.
Segelas kopi sebagai obat penghilang pening, disuguhkan seorang pemilik kedai di samping Teluk Lampuyang, beberapa meter dari dermaga.
Jam empat sore, perjalanan bersepeda dimulai. Jalan berbatu yang membelah Desa Lampuyang menyambut kami.
Bunyi ban melindas batu membawa kesan tersendiri. Apalagi, ini pengalaman saya pertama kali bersepeda di tempat sunyi semacam ini.
Karena Meulingge masih jauh, seorang teman yang saya temui di perahu, menawarkan menginap di rumahnya. Tawaran sang teman—bernama Mus—diterima. Mus, warga Lhoh, kampung setelah Lampuyang.
Sebelum ke Lhoh, beberapa tanjakan terjal harus dilewati. Matahari sore kian redup, tapi peluh tak kenal kompromi. Di sebuah tanjakan, saya terpaksa menuntun sepeda. Maklum, tanjakan satu itu tinggi seperti bukit. Melelahkan memang.
Jalan ini juga dipakai sehari-hari oleh warga Lampuyang menuju kampung-kampung lain. Di turunan, harus hati-hati agar tak tergelincir. Salah sedikit menjepit tuas rem, sepeda bakal meluncur bebas ke bawah.
Malam pertama, Mus yang baik hati menyuguhkan cumi, kerapu, dan beberapa jenis ikan karang yang dipanggang. Semuanya dipancing sendiri. Laut Pulo Aceh memang masih kaya.
Selesai makan, kami menghabiskan malam dengan ngobrol dan minum kopi. Senja di pulau, hanya cecirit jangkrik menemani. Sungguh damai.
Setelah Lhoh, ada sebuah kampung lagi. Namanya Gugop. Di sini, sepeda hampir tak bisa dikendarai. Tanjakan tinggi kian banyak tersuguhi. Tiba-tiba kemalangan datang. Sebuah sepeda bocor. Usai ditambal, giliran sepeda satu lagi bermasalah
Rantainya tanggal dan merangsek masuk ke jari-jari. Penyebabnya, di sebuah turunan berbatu, sepeda meluncur terlalu kencang. Rupanya, urusan rantai ini lebih banyak menyita waktu ketimbang menambal ban.
Keluar dari Gugop, ada kampung lagi, Alue Raya. Rantai sepeda enggan kompromi, sebentar-sebentar jatuh.
Mencari bengkel di sini tentu bak berharap salju turun. Hanya ada sebuah warung yang menjual jarum pentul hingga pesawat tempur. Maksudnya, pesawat tempur mainan anak-anak.
Apa daya, di Rinon, kampung setelah Alue Raya, kami menginap semalam lagi di rumah Basri, sekretaris desa. Tak seperti kampung lain, Rinon gulita kala malam. Tak ada listrik di sini.
Kampung Meulingge terletak di sebelah Rinon. Tapi butuh sehari lagi mencapai Mercusuar Willem’s Toren dari rumah Basri. Warga setempat menyebutnya lampu suar. Letaknya hanya beberapa meter dari pantai.
***
Part 2
Willem’s Toren dibangun pada 1875 kala Raja William III berkuasa (1817-1890). Wajar jika nama mercusuar ini mengadopsi nama sang raja yang lebih dikenal dengan Willem Alexander Paul Frederik Lodewijk, penguasa Luxemburg. Kala memerintah, Willem memang giat membangun ekonomi dan infrastruktur di wilayah Hindia Belanda, termasuk Pulo Aceh.
Dalam beberapa referensi disebutkan, Willem membangun mercusuar itu kala menyiapkan Sabang sebagai salah satu pelabuhan transit ke Selat Malaka. Apalagi, serikat dagang Hindia Belanda, VOC, telah berdiri. Infrastruktur pelabuhan dan sarana navigasi jadi kebutuhan dasar. Kala itu, Belanda bercita-cita membuat pelabuhan transit Sabang yang diharapkan seperti Singapura sekarang.
Mercusuar selesai bertepatan dengan ulang tahun ke-65 William III. Tak hanya mercusuar ini saja, semua bangunan yang selesai pada masa itu didedikasikan untuk raja. Maka, Willem’s Toren atau Menara William juga ada di Hollands dan Kepulauan Karibia. Kini, yang berfungsi hanya mercusuar ini dan di kepulauan Karibia saja. Willem’s Toren di Hollands telah berubah fungsi menjadi museum.
Walau sudah puluhan tahun, Willem’s Toren tetap kokoh. Menara setinggi 85 meter ini tetap digunakan. Menara terletak di dalam sebuah komplek seluas 20 hektare. Pemukiman ini dulunya diisi perwira-perwira Belanda.
Selain menara, ada bangunan loji panjang, gedung pembangkit listrik, gudang logistik, aula untuk pekerja lokal, dan sebuah pelabuhan khusus untuk mercusuar ini. Di pelabuhan ini dulunya perwara Belanda mendarat.
Tsunami 2004 mengoyak pelabuhan. Beberapa bangunan kecil kini tinggal puing. Ada sebuah sumur besar berair tawar nan jernih. Para penjaga mercusuar memasak menggunakan air tersebut. Di dalam komplek yang tersisa sekarang hanya menara, loji panjang, dan gedung pembangkit listrik.
Mercusuar dijaga petugas dari Departemen Perhubungan Laut Distrik Navigasi II Sabang. Mereka bertugas memastikan mercusuar berfungsi baik. Arus kencang di Selat Malaka serta banyaknya karang bawah permukaan di antara Sabang dan Pulo Aceh menjadikan alat pandu perjalanan laut ini begitu vital.
Di mercusuar, seorang petugas menyilakan saya berkeliling. Diameter mercusuar 20 meter. Tebal dindingnya mencapai tiga meter. Mencapai puncak tower harus meniti tangga berputar hingga ke atas.
Beberapa anak tangga telah copot. Setiap ruangan di dalam mercusuar memiliki dua jendela. Di puncak tower ada sebuah mesin lampu besar. “Beratnya tiga ton,” sebut Marwan, komandan penjaga. Lampu tersebut tidak berfungsi lagi. Mercusuar kini hanya memakai lampu yang lebih kecil, bantuan Australia.
Konon, kata Marwan, mesin besar itu dihidupkan menggunakan air raksa. “Mesin itu dulu dijaga setiap saat oleh perwira belanda secara bergantian,” ujarnya.
Sekarang, lampu dijaga bergantian saban dua bulan sekali. Bulan ini, selain Marwan, ada tiga petugas mendapat jatah jaga, yakni Alfian, Otang, dan Alwi. Mereka sudah sebulan lebih berada di mercusuar.
Tugas ini biasa bagi Marwan dan kawan-kawan. Usai dari mercusuar ini, mereka dipindahkan lagi ke menara suar lain yang ada di Aceh. Sehari-hari tugas mereka mematikan dan menghidupkan genset yang menjadi daya lampu suar.
Waktu kosong digunakan untuk memancing. “Ini kegiatan yang paling menyenangkan,” ujar Alfin. Sore itu, beberapa jenis kerapu telah didapatnya. Karena banyak, terkadang kerapu-kerapu itu diasinkan. “Kalau angin kencang tak enak memancing. Masih dapat menggoreng kerapu asin ini,” ujar Alwi.
Selain menara yang kian keropos, gedung loji panjang tadi juga bernasib serupa. Benalu, beringin kecil, menyemut di dindingnya. Padahal, ruangan berlantai dua ini dulunya mungkin sangat mewah. Perwira-perwira Belanda menjadikan tempat dansa dan pesta.
Untuk membunuh waktu mereka mungkin menenggak bir atau sampanye. Lalu, di ruang dansa itu terdengar lantunan Piano Sonata in Eb ‘Les adieux’ karya Beethoven. Perwira-perwira Belanda yang mabuk itu menghabiskan malam lewat dansa-dansi.
Tapi, lantai ruang dansa itu kini seperti per kalau diinjak. Tak ada lagi quartet mozart atau simphony allegro terdengar di situ.
Serasah telah menutupi lantai hingga puluhan centimeter tebalnya. “Di bawah ruangan ini ada bungker tempat bersembunyi para perwira itu,” sebut Marwan. Bungker itu tak bisa dimasuki. Tumbuhan dan tanah telah menutupnya.
Kondisi serupa terlihat di atap bangunan yang sebagian menganga. Genteng-gentengnya telah jatuh. “Kita memang kurang perhatian terhadap bangunan bersejarah,” imbuh Marwan.
Padahal, saban tiga tahun ada dana Departemen Perhubungan untuk merehab gedung di komplek tersebut. “Tapi dana dan pengerjaan hanya laporan saja,” kata Marwan. Ia tak tahu berapa jumlah dana yang digelontorkan.
Bagaimana pun, tambah dia, dana itu saja tak cukup. “Pemerintah harusnya membuat kerjasama dengan pihak lain atau membuat anggaran biaya secara serius.”
Padahal, menurut Otang, beberapa bulan lalu ada keturunan William menjenguk tempat ini. Ia mendengar informasi dari kawan yang bertugas saat itu. Marwan menilai, komplek itu terutama menaranya bisa dijadikan objek wisata stategis.
“Kenapa tidak dikelola dinas pariwisata atau purbakala agar senantiasa lestari?” tanya Marwan. Entahlah, dari sisi arsitektur, mercusuar ini bukan seonggok menara, ia bukti sejarah. Sisa Hindia Belanda ketika “bertugas” di Meulingge.
by atjehpost.com