Pagi itu kami meninggalkan Mai-Mai menuju Lobo, cuaca yang cerah menyambut kami. Kami menyempatkan mampir menuju situs purbakala lainnya yang berada tidak jauh dari Mai-Mai. Kami menyusuri teluk dengan air yang sangat tenang, dan di sepanjang perjalanan banyak sekali ikan puri serta ikan-ikan lainnya. Terumbu-terumbu karang terlihat tumbuh di perairan dangkal.
Tiba sudah kami di situs purbakala tersebut, ternyata lukisannya berada di dinding batuan yang banyak sekali menggambarkan hewan-hewan yang hidup disekitarnya serta disitu juga digambarkan si hiu paus. Tidak bagaimana caranya mereka menaiki tebing-tebing curam tersebut dan melukisnya dengan sangat baik. Di sepanjang perjalanan terdapat pulau-pulau kecil dan perairan dangkal yang banyak menyimpan keanekaragaman yang belum tergali dengan maksimal.
Ketika kami di Namatota, berhentilah kapal di sebuat batuan karst yang terbentuk dari kerang-kerang kecil. Wooooaaaaahh, banyak sekali terumbu karang yang sangat indah dan ikan-ikan warna-warni yang menakjubkan. Saya dan Bang Donny menyempatkan untuk berenang di sekitarnya, dan sangatlah tenang sekali perairannya.
Setelah puas bermain snorkeling, saya naik ke atas karang dan sial bagi saya karena kaki tangan saya robek. Lumayan banyak juga darah yang mengucur, bagi saya cukup untuk menjadi kenangan di Namatota. Di sekitar karang tersebut banyak sekali ular laut, saya sendiri sempat dikejar 2 ekor saat bersnorkeling disana.
Hari semakin siang, kami harus cepat-cepat mencapai Lobo sebelum sore hari. Kole-kole melaju dengan cepat menyusuri teluk Namatota, dan ketika sampai di persimpangan suatu tanjung yang gelombangnya sangat keras. Cukup menegangkan perjalanan menuju Lobo, harus melewati celah kecil mirip sekali seperti petualangan Indiana Jones.
Ternyata kira sudah memasuki daerah Teluk Triton, celah tadi merupakan pintu gerbang. Sebuah kapal phinisi putih terlihat dari kejauhan, ternyata rombongan orang asing sedang berlibur. Menurut salah satu guide kami, Enos : Kapal itu datangnya dari Raja Ampat atau
Lombok atau Bali yang langsung menuju Teluk Triton.
Setelah melewati celah lagi, sampai sudah kami di desa Lobo. Walau cuaca mulai berubah dan awan semakin hitam, gerimis datang serta gelombang semakin keras. Dari kejauhan nampak pegunungan yang berjejer rapi, tinggi menjulang tertutup awan. Teluk Triton yang sangat menjorok ke dalam seperti danau, tibalah kami di Lobo.
Desa Lobo sangat bersih, ketika kami menuju rumah bapak kepala desa. Terlihat warga bergotong royong memotong kayu, tak jauh situ terdapat Puskesmas Inap 24 jam dan terdapat dokter jaga. Di tempat bapak kepala desa, kami minta ijin untuk tinggal di Lobo. Ternyata Desa Lobo memiliki penginapan untuk umum, namanya penginapan Garuda. Waktu itu ada seorang turis dari Amerika yang sudah lama menetap di Indonesia sedang berlibur di Triton juga. Hari itu sebenarnya dia ingin kembali menuju Kaimana, namun cuaca tiba-tiba datang dengan tidak bersahabat.
Selesai memasukan barang bawaan, kami makan dan istirahat sejenak karena perjalanan yang menegangkan bagi kami. Datangnya malam membuat kami terbangun, dan listrik tidak nyala. Usut punya usut, ternyata petugasnya sedang pergi ke kota jadi malam itu kami harus menghidupkan generator.
Setelah listrik menyala, bersama dengan Om Samuel yang merupakan penatua Desa Lobo, bercerita tentang sejarah Lobo yang satu suku dengan warga Mai-Mai yaitu suku Maerasih. Dulunya di Lobo terdapat burung garuda, yang selama ini kita kenal sebagai burung mitos ternyata menurut warga Lobo itu merupakan burung yang nyata. Lobo dulunya merupakan benteng Belanda, karena pertama kalinya Belanda ke Papua memasuki Lobo.
Terdapat monumen Belanda di Lobo, namanya Fort du Bus dengan tanggal 24 Agustus 1928 untuk menandai pertama kalinya Belanda mendarat di Papua.Nama itu diambil dari gubernur jenderal Belanda saat itu L.P.J Burggraaf du Bus de Gisignies. Benteng itu ditinggalkan Belanda karena serangan wabah Malaria, lalu mereka berpindah menuju Manokwari.
Teluk Triton dan Selat Irish menurut cerita warga Lobo, dulunya berasal dari Kapal Laut Triton dan Irish yang mereka sendiri tidak tahu dari negara mana. Jadi kapal tersebut berlabuh di teluk yang kini dikenal dengan nama Teluk Triton sedangkan kapal yang lainnya berlabuh di selat yang kini juga dikenal dengan Selat Irish. Bagi kami memang nama teluk dan selat tersebut sangat asing karena namanya cenderung ke barat-baratan. Mungkin karena dulu daerah tersebut merupakan pusat pemerintahan awal Belanda di Papua.
Teluk Triton sendiri memiliki banyak sekali binatang endemiknya, menurut data terdapat 16 spesies endemik yang hanya ada di sana. Sekarang daerah di Teluk Triton menjadi kawasan konservasi oleh Pemda Kaimana bersama-sama dengan CI ( Consevation International ) dimana tidak boleh ada tindakan menangkap ikan di beberapa daerah kantong ikan.
Selain itu Triton terdapat berbagai spesies ikan hiu, menurut cerita Om Samuel. Hiu-hiu di Triton sangat bermacam-macam, mulai dari hiu paus, hiu gergaji, hiu macan, hiu martil, dll. Di tempat kami menginap terdapat gigi hiu gergaji hasil buruan yang masih disimpan. Dari besar gigi gergajinya tersebut dapat dipastikan kalau hiu gergaji tersebut sangat besar. Ada juga buaya muara yang masih banyak berkeliaran di teluk. Kawasan di Teluk Triton terdapat 959 jenis ikan karang dan 471 jenis karang di mana 16 dari mereka adalah spesies baru.
Keindahan karang lunak adalah pemandanganan air alami di Teluk Triton. Serta dengan mudah menemukan bryde’s paus mencari makanan. Walau saat itu kami sendiri kurang beruntung karena sama sekali tidak menemukan ikan-ikan tersebut Jika ingin melakukan kegiatan di Triton mungkin agak sulit jika kita tidak membawa peralatan karena memang di sana sama sekali belum terdapat fasilitas yang mendukung. Jika ingin diving atau snorkeling, haruslah kita persiapkan sendiri sebab belum ada operator diving. Padahal Triton sendiri sangatlah menarik kehidupan bawah lautnya, nampaknya perhatian untuk sektor pariwisata kurang diperhatikan di sana.
Di sekitaran Teluk Triton terdapat pulau-pulau kecil yang bisa digunakan untuk berkemah dan berjemur karena setiap pulau memiliki pantai-pantai. Jika ingin climbing, kita bisa melakukannya di Triton sebab tebingnya menurut Bang Donny sangat menantang.
Triton, seperti belum tertata untuk pariwisata dan sangat minim informasi untuk ke sana. Di sana tersimpan keindahan yang membuat kami terkesima. Jangan lupa mampir ke Selat Irish, di sana terdapat pulau-pulau kecil dengan pantai yang sangat indah.