Jakarta | Lintas Gayo -  Adalah hal yang lumrah saat orang Gayo menyanyikan lagu Gayo. Namun,  bagaimana bila lagu-lagu Gayo dibawakan orang non-Gayo? Hal itulah yang  dilakukan Fitri Sanjaya, salah satu penyanyi yang tergabung dalam  Kelompok Musik Aria Tanjung (Ari Nol Atang Jungket)
“Awalnya saya aneh denger lagu Gayo.  Dan, susah melafalkan vokal é (bené—hilang) dan è (benè—benda),”  tutur Fitri kepada Lintas Gayo di Senayan, Jakarta, Rabu  (28/9) “Saat mulai nyanyi lagu Gayo, kok lama-lama enak di dengar.  Akhirnya, saya seneng dan mulai belajar lagu-lagu Gayo,” tambah Fitri
Lagu-lagu yang biasa dibawakan Fitri  seperti Sènimen Gayo (Seniman Gayo), Nanggroe Aceh Darussalam,  dan Bungé Serimpi (Bunga Serimpi) bersama teman-teman  yang semuanya bukan orang Gayo. Bahkan, sampai saat ini pun, Fitri terus  mempelajari lagu-lagu Gayo yang lain.
Harusnya orang Gayo malu, tegas Muryati  Tanjung yang kerap disapa Itém. Yang bukan orang Gayo  saja mau belajar tentang Gayo, tambah pemilik Kelompok Musik Aria  Tanjung itu. Sebaliknya, malah orang Gayo sendiri mulai meninggalkan  bahasa dan budaya-nya sendiri, ungkapnya miris.
Sènimen Gayo, salah satu lagu  ciptaan Muryati Tanjung sendiri, mengisahkan tentang nasib seniman Gayo.  Dari dulu sampang sekarang, nasib mereka begitu-begitu saja, katanya  lagi. Kenapa? tanya istri Arnold Tanjung—Ari Nol Atang Jungkèt—ini.  Karena memang perhatian dan penghargaan dari Pemerintah Kabupaten tidak  ada. Dengan demikian, lagu Sènimen Gayo lebih menyindir  Pemerintah Kabupaten yang miskin penghargaan. (Win Kin Tawar)
 
 


