“Kak nge geh jema e, ter pora (kak sudah datang orangnya, cepat sedikit),” teriak seorang gadis bersandal jepit putih sambil menguyah permen ke arah jendela.
Tak lama berselang muncul sesosok gadis berjilbab cokelat memakai celana tidur dengan jaket putih, “Ara hana dek ( ada apa dek),” tanyanya kepada gadis bersandal jepit putih itu ketika hendak duduk di atas pagar beton yang setengah jadi. Mahasiswa yang akrab disapa Mawar ini hanya tersenyum saat hendak ditanya oleh penulis.
Pulang kampung memang menjadi keinginan setiap mahasiswa yang tinggal jauh dari orang tua, rindu akan sedapnya masakan ibunda tidak dapat terbendung lagi, setelah sekian lama jauh dari rumah. Namanya juga mahasiswa yang hidup di perantauan, puasa karena terpaksa terasa tidak menjadi hal yang aneh lagi, kadang-kadang hanya ditemani sambal lado ketika makan, lebih-lebih bila akhir bulan. Itulah gambaran umum kehidupan Mawar yang mewakili ribuan mahasiswa di perantauan.
Mahasiswa IAIN jurusan bahasa Inggris ini mengaku rasa ingin Pulkam (pulang kampung) memang ada, hanya saja karena ongkos yang terlalu mahal membuat mahasiswa semester enam ini enggan untuk pulang kampung ,maklum saja Mawar tinggal di Gayo Lues, kalau tidak menggantongi Rp180.000 mustahil bisa Pulang kampung, belum lagi ditambah dengan uang jajan di jalan.
Kali ini mungkin keberuntungan Mawar, Mawar seolah-olah seperti seorang karyawan perusahaan besar yang ditawari mudik gratis. Tidak lazimnya pulkam yang biasa dilakukan oleh mahasiswa, pulkam kali bukan karena libur semesteran ataupun libur lebaran, melainkan pulkam dadakan karena angin pemilu.
Seperti halnya karyawan perusahaan yang membidanggi divisi tertentu, Mawar langsung mendapat undangan istimewa dari perusahaan, tetapi yang ini berbeda, Mawar ditawari pulang kampung oleh Caleg. “ Caleg tersebut langsung mendatanggi saya ke kos, maklum saja kami ada ikatan keluarga.” Unjar Mawar.
Kalaupun harus jujur sebenarnya saya berat menerima tawaran ini, hanya saja yang menawarkan tawaran ini adalah paman saya sendiri, kan ngak enak kalau ditolak. Lihat saja ongkos yang diberikan, cuma ongkos pulang saja, sedangkan ongkos untuk balik kesini tidak ada, ujung-ujungnya kan harus merambah kantong orang tua, nampak kali tidak ikhlas. Keluh Mawar.
Caleg dari partai PDI-P ini langsung memfasilitasi dengan L300 mengantarkan Mawar bersama delapan orang lainnya ke Gayo Lues. Misi pemburuan suara yang dilakukan oleh Caleg daerah ini telah lama digencarkan ke mahasiswa, terbukti Mawar yang telah lama menerima tawaran pulang kampung walaupun pemilu baru akan dilaksanakan seminggu kemudian. Ketika masa kampaye terbuka dimulai, banyak caleg yang menyusun strategi untuk mendulang suara, walaupun harus mengimpornya dari luar daerah.
Berbeda halnya dengan Bagus, mahasiswa Unsyiah Falkutas Ekonomi ini mengaku meminta sendiri ke calon legislatif untuk dibayari pulang kampung. Nasib Bagus dan kawan-kawan lebih baik dibandingkan Mawar, mahasiswa Abdya (Aceh Barat Daya) ini langsung diberikan fasilitas mobil pulang pergi dengan sedikit jajanan di jalan.
Namanya juga pulang kampung gratis, kan harus ada timbal baliknya, mana mau orang membuang uang sia-sia hanya untuk bayari kami pulang, jelas saja ada kontrak moral antara kami dengan Caleg, ungkap Bagus.
Bagus dengan membawa misi pemilu beragotakan 14 orang siap menjadi pendulang suara caleg dari PKPB ( Partai Kesatuan Pembangunan Bangsa) di kecamatan Susoh. Kepada penulis, Bagus enggan menyebutkan nama caleg yang memboyonginya pulang kampung.
Tidak hanya dengan L300, kereta yang rawan kecelakaan pun ikut andil dalam misi kali ini. Dengan menggantongi Rp200.000 per kereta, mahasiswa dari Abdya siap tancap gas untuk menjalankan tugas dari Timses.
“Kami tidak hanya menyontreng, tetapi kami juga mengajak teman-teman yang ada di kampung untuk memilih caleg ini, walaupun dalam hal ini kami tidak menerima persenan sedikitpun,” ungkap Bagus yang juga mengaku sebagai Timses (tim sukses). Strategi yang dibangun Timses mahasiswa adalah dengan mengajak teman-teman yang tergabung dalam mahasiswa Abdya untuk ikut pulang kampung dengan cuma-cuma.
“ Sekarang orang Aceh sudah pintar, mereka memang di ajak pulang kampung, dan mau di bayari, duet memang dikasih, tetapi kalau milih kan sesuai dengan hati nurani,” potong Walhi mahasiswa yang juga berasal dari Abdya.
Menjelajahi sejarah panjang pesta demokrasi Indonesia khususnya di Aceh, misi pemburuan suara yang kerap melibatkan mahasiswa di perantauan menjadi Timses bukanlah hal yang aneh. Agenda antar jemput mahasiswa di sejumlah pegeuruan tinggi di Banda Aceh telah lama menjadi profesi musiman. Hanya saja kasus seperti jarang terungkap ke permukaan. Hal ini juga dibenarkan oleh anggota Panwaslu Aceh, Asqalani. “ Dalam UU No. 10 Pasal 84 Ayat 1, dijelaskan bahwa dilarang melakukan tindakan pelanggaran pemilu termasuk di dalamnya money politik. Banyak pelanggaran seperti ini terjadi menjelang pemilu, hanya saja tidak ada yang melaporkannya ke Panwaslu,” unjar Asqalani.
Sampai sekarang kami belum banyak menerima informasi tentang pelanggaran yang bermodus caleg tanggungi ongkos mahasiswa, memang betul ini termasuk ke dalam pelanggaran, sayangnya laporan kepada kami tidak ada. Misalkan ada yang ingin melaporkan kasus seperti ini kepada kami, kami akan menindak lanjutinya selama laporan itu dilaporkan tidak lebih dari tiga hari setelah pelaksanaan pemilu. Tambah Asqalani.