Iwan Aramiko - Abu Bakar Pang Aman Dimot lahir pada tahun 1920 di sebuah kampung yang bernama Tenamak, kemukiman Gelong Perajah. Tempat yang dihuni oleh masyarakat Gayo di kecamatan Linge. Jaraknya 50 Km dari pusat kota Takengon. Abu Bakar Pang Aman Dimot yang akrab disapa dengan Aman Dimot adalah seorang pahlawan yang memperjungkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Pahlawan yang tidak dianggap pahlawan, itulah yang menjadi inti pembicaraan dua tahun lalu dalam sebuah seminar yang bertajuk “Seminar Sehari Calon Pahlawan Nasional Aman Dimot,” di Asrama Haji.
Tiba-tiba masuk salah seorang pria mengenakan kemeja bermotif lurus masuk ke balai seminar, tingginya tidak seberapa, matanya tajam seolah-olah ingin mengeluarkan segala isi hatinya. Rambutnya sudah mulai memutih.
M.Y Sidang Temas, sejarahwan asal kota Takengon. Pria berkulit gelap ini dengan gamblang menjelaskan kronologis perjuangan Aman Dimot. Ingatannya masih tajam, Tak sekata pun yang ia lewatkan, juga tak selembar kertas pun yang ia pegang dalam persentasi hari itu.
“Tanggal 30 Juli 1949 pasukan Belanda dengan kekuatan besar datang ke Kebun Jahe hendak menuju Tiga Benanga, ” unjarnya dengan diikuti irama tangan dan suara begitu lantang.
Angan-angan untuk memperjuangkan Aman Dimot sebagai salah satu pehlawan begitu jelas tergambar di benak Sidang Temas, tak ada gambar kelelehan melewati perjalanan semalam yang tampak di raut wajahnya
Berasal dari sebuah kota dingin, Aman Dimot kecil sudah sudah belajar pendidikan Al Qur’an dan mulai membaca misailal muhtadin (bahasa jawi), selain itu ia juga cakap dalam berbicara dan sikap dalam melihat suatu permasalahan.
Tidak mau mengarungi hidup dengan kelajangannya, umur 17 tahun ia memutuskan untuk menikah dengan seorang gadis yang bernama Jubaidah (Inen Dimot), hingga akhirnya hidup bersama Jubaidah ia dikaruniai dengan enam orang anak.
“keenam putra-putri Aman Dimot bersama Jubaidah telah tiada,” tambah Sidang Temas.
Tak ingin beristrikan satu Aman Dimot kemudian menikah dengan seorang janda dari kampung Uning pada tahun 1943. Ditemani istri keduanya ia dikaruniai seorang anak laki-laki.
“Almarhum Aman Dimot menikah dengan seorang janda dan dikaruniai seorang anak benama M.Yunus yang sampai sekarang masih hidup dan hadir pada seminar ini,”ungkap Sidang Temas.
Keseharinnya ia berprofesi sebagai petani dan sangat dihormati dikalangan masyarakat, karena kejujuran dan sifat sopan santunya ia dipercaya sebagai Opas Api pada tahun 1938 sampai kedatangan Jepang pada tahun 1942.
Setelah kemerdekaan 1945 Aman Dimot bergabung dengan laskar mujahidin yang dipimpin Ilyas Leube, disana ia diajarkan latihan kemeliteran dan Aman Dimot mempunyai sebuah senjata yang dapat hidup, sebuah pedang yang dapat yang dapat terbang.
Menurut cerita rakyat setempat yang berkembang, Aman Dimot mempunyai ilmu kebal terhadap senjata tajam dan dapat bertahan walaupun diinjak oleh panser, hingga sampai akhir hayatnya ia hancur karena diledakkan geranat ke dalam mulut Aman Dimot.
Agresi militer II pada tahun 1947 yang pada saat itu Belanda melakukan penyerangan ke kota-kota besar kecuali Aceh, ketika Belanda memperluas serangnya mulai dari Langkat sampai Tanah karo Aman Dimot bersama laskar mujahidinnya sudah mulai bersiap melakukan perlawanan menuju Front Medan Area.
Rencana Belanda yang ingin menduduki Aceh melalui Tanah Karo, Kuta Cane sebelah kanan langsung diketahui oleh pejuang-pejuang Aceh, yang pada saat itu Tgk. Ilyas leube langsung membentuk pasukan perlawanan yang disebut dengan BAGURA (Barisan Geriliya Rakyat). Tidak kutang 250 Km Aman Dimot dengan pejuan-pejuang lainnya ikut berjalan kaki menuju Kuta Cane dan Tiga Benanga.
Pada tanggal 30 Juli 1949 dini hari diterima kabar bahwa tentara Belanda dengan kekuatan yang cukup besar mulai datang ke Kaban Jahe hendak menuju Tiga Benanga, sehingga pasukan BAGURA melakukan subtance dengan menghancurkan jembatan Kandi Bata supaya tentara Belanda tidak maju dan tidak mundur atau terkepung diantara Kandi Bata dan Tiga Benanga.
Dalam kesempatan tersebut gerak gerik Tgk Ilyas leube memerintahakan pasukan BAGURA bersiap-siap di tikungan dan relung-relung bukit, sedangakan Aman Dimot beserta dengan Panng Alim, Pang Adam dan Pang Ali Rema bersiap di tikungan bukit paling patah dengan dipersenjatai senampan dengan pedang berkunci.
Ketika panser Belanda yang paling depan berada dalam line pasukan BAGURA, komandan sektor tiga pejuang Karo, Selamat Ginting atas persetujuan Tgk. Ilyas Leube untuk menyerbu pasukan Belanda, maka dengan cepat seluruh pasukan Aceh dengan pejuang Karo serentak bergerak dengan disertai tembakan dan hunusan pedang kunci milik Aman Dimot.
“Allahu Akbar,” teriak Pang Ali sambil terjun ke atas panser belanda.
Tepat pukul 10.00 komandan Tgk. Ilyas Leube memerintahkan seluruh pasukannya untuk mundur karena melihat situasi dan kondisi pejuang Aceh yang sudah mulai melemah, sedangkan Belanda dengan pasukannya terus menerus mengempur pasukan Aceh. Aman Dimot, Pang Alim, Pang Ali tidak mau kalah dengan gertakan senjata belanda, mesikipun hanya bermodalkan senjata biasa Aman Dimot berjuang melawan Belanda. Kemuadian Pang Alim bersama Pang Ali terjun ke jurang menyelamatkan diri bersama anggota BAGURA lainnya. Namun, Aman Dimot tanpa memikirkan kondisi lingkungan menyerang pantang mundur.