Di tanah Gayo yang bertuah terhampar Laut Tawar dikitari gunung Taris, Birah Panyang, Kelieten dan Kelitu yang membujur sampai ke Singah mata. Beberapa sungai mengalir dari beberapa arah menuju Laut Tawar yang bermuara ke sungai Pesangan menuju Samudera Hindia. Orang Gayo cukup menyebutnya dengan “Lôt Tawar” dan bukan Danau Laut Tawar. Di sini -di Laut Tawar- sebagian orang Gayo menyandarkan hidup dari hasil ikan Depik yang uniq itu. Sampai tahun 70-an, ikan Depik bisa dihasilkan berkunca-kunca, sehingga mamu menyara yang bisa nyekolah anak-anak.
Di pinggiran Lot Tawar terdapat pinus yang merentang hijau, yang suatu ketika dulu getahnya di-export. Ada Kopi dan Tembakau yang mutunya mampu menyaingi kopi Berazil di pasaran dunia Internasional. Gambaran tentang keindahan, kekayaan, kebanggaan, harapan dan masa depan orang Gayo, bisa disimak dari lirik Didong berikut. //Engonko so tanoh Gayo/ Si megah mureta delé /urom batang ni Uyem si ijo/Kopi bakoe/ Enti datenko Burni Kelieten mongot pudederu/ /Oyale rahmat ni Tuhen kin ko bèwènmu// (Tataplah tanah Gayo/ yang megah kaya-raya/ dengan pohon Pinus yang hijau/ Kopi dan Tembakaunya/ jangan biarkan Gunung Klieten menangis tersedu/ Inilah rahmat Tuhan kepada kalian semua// (“Sedenge”. Mariam Kobat).
Laut Tawar memang menyimpan sejuta riwayat, seperti: hikayat Malim Dewa (kisah percintaan Malim Dewa dengan Peteri Bensu yang sangat romantis dengan tidak merobek nilai-nilai adat dan agama); Inen/Aman Mayak Pukes (kisah pengantin baru yang tidak patuh kepada nasihat orangtua, dengan kultur Gayo klasik, dimana pasangan suami/Isteri, masih malu bergandeng tangan). Lihat saja posisi antara Inen dan Aman Mayak Pukes (penganting perempuan dan lelaki) yang jaraknya diperkirakan 200 meter dan Peteri Ijo (hikayat gadis cantik jelita berabut panjang, yang sarat dengn kekuatan misteri). Di sini- di Laut Tawar- kaula muda merajut percintaan yang romantis.
Muse (penyair Gayo) bercerita: //Kirep cèngkèh ni bulang/ kipes ni opoh Padang/ terbayang ko laut ijo rembebe tajuk ni bunge/ ku sèmpol bun kin tene/ mudemu i ôjông Baro// (Panggilan dengan topi miring/ lambaian kain panjang/ terbayang kau Laut hijau/ kuntun bunga bertaburan/ berjumpa di ôjông Baro/ diselip di sanggul sebagai isarat.) Kasih-sayang yang mereka rènda sepanjang jalan kenangan ini tak rela membiarkan terbang ke angkasa lepas. Tak kuasa untuk berpisah, sedetik sekalipun. Miga (penyair muda Gayo) berdèndang: //Tapè ikot ari Pedemun (Bingkisan dari Pedemun) /Ku Balé Atu malè kukirimen (kukirim ke Balé Atu)/ Mokottu lime tun (lima tahun terlalu lama)/ Nantin aku di Terminal Takengon (tunggu aku di Terminal takèngon, sayang).
Di sini -di Laut Tawar- orang menjalin rasa persadaraan yang kental. Biar susah sungguh, sampan tetap kukayuh meredah Laut Tawar menuju Bebuli. Disana sanak saudaraku sudah letih menanti. Demi persaudaraan, enggan menghitung langkah dan ayunan dayung Keakraban persaudaraan ini, bisa disimak dari lirik: //Langkah ku mamang ku Ujung Bebuli (Langkahku terburu-buru ke Ujung Bebuli)/ Jarak sipi-sipi telas Kampung Rawè (Nampak samar-samar Kampung Rawè)/ Muah ke Rembèlè, kati singah kami (Berbuahkah Rembèlè agar mampir kami// (Rembele, sejenis kayu yang buahnya berisi lendir dengan rasa manis) (Ramlah, penyair Gayo)
Di sebalik kisah itu, ada sejuta kegundahan yang satu saat akan melilit dan mencekik kebanggaan terhadap Laut Tawar. Sebab dalam realitasnya, hutan Gayo sudah dikuasai oleh orang asing. Utente negemèh bertene dan belangte nge mèh berpancang (Hutan dan padang ilalang kita sudah habis dipancang – Linge group.) Hak Paten Kopi Gayo pun di tangan Belanda. Kawasan hutan di hulu sungai utama, seperti: Kenawat, Toweran, Rawè, Nosar, Bèwang, Mengaya, Bintang dan Totor Uyet menuju Kala Kebayakan- yang bermuara air ke Laut Tawar kini sudah gundul.
Konsekuensinya permukaan air Laut Tawar semakin dangkal. Hal ini tidak saja berpengaruh kepada kerusakan alam lingkungan, tetapi juga keengganan Ikan Depik masuk Di disen. Kini, ikan Depik lebih suka bertandang ke tengah laut ketimbang melewati Penyangkulen (post-post laluan Ikan Depik). Para nelayan pun mengejar dan memberkasnya dengan doran (pukat tradisional Gayo). Kabri Wali (penyair muda Gayo) mengisahkan: //Nge taring peberguk parukni penyangkulen/ Gere lagu jemen Didisen batu berbata// Pinus yang terhampar luas dan megah, kini hampir semua musnah. Ibnu Hajar (penyair Gayo) melukiskan //Ari Lampahan sawah ku Gelampang (dari Lampahan hingga Gelampang)/ Nge mèh lapang taring kemumu (Sudah gundul tinggal rerumputan)/ Pabrik Lampahan gere nèh mugune (Pabrik lampahan tidak lagi berfungsi) Mujadi besi tue kengon tubuhmu (sudah jadi besi tua)/ Gere megah lagu sedenge (tidak terkenal seperti dahulu)//
Lupakan seketika kisah itu. Yang pasti, wajah Laut Tawar setara indah dan cantiknya dengan Geneva Lake Swissland, yang dilingkari oleh gunung Alps dan Jura, bermuara ke sungai Rhône yang mengalir gemuruh dan bening. Selain Rhône, ada Pea -sungai kecil- yang diapit oleh pohon rindang (mirip kayu bakau) yang terurus. Air Geneva Lake yang jernih bersumber dari mata air simpanan salju gunung Alps dan Jura. Kecantikan dan keindahan Geneva Lake tetap bertahan, karena pemerintah setempat merupakan Wali yang bertanggungjawab melindungi dan menjaga martabat Geneva sebagai kota turist berskala internasional.
Sepanjang sungai Rhône membujur taman bunga beraneka warna yang diperindah dengan cahaya lampu penghias di waktu malam, semakin mempesona para wisata. Siapapun yang pernah berjalan sepanjang Rhone, akan berhayal; “Seandainya pantai Laut Tawar dari arah Mendalé hingga Bôm dan dari arah Dedalu menuju sungai Pesangan ditata dengan seni arsitektur yang berciri Gayo secara profesional -artinya, tidak ada lagi gubuk nelayan, yang mirip gubuk suku Dayak terasing Kalimantan Timur itu- dan menukarnya dengan taman bunga.” Mungkin khayalan tadi akan menjelma dan Peteri Bensu bersaudara turun dari singgasana menyambut Malim Dewa (baca: wisatawan) seraya menyapa: “Inilah daku, Gayo!”
Tidak guna lagi meratapi Laut Tawar dalam syair, sementara tangan kita mengotorinya; memuja dalam sastera, sementara mendera di alam nyata. Jangan biarkan keindahan Laut Tawar terbengkalai. Sisir rambut Pantai Menye (manja) agar tak kusut, mandikan dengan aroma bunga Renggali agar kaki turist tidak tersentuh tahi. Jangan biarkan Inen Mayak Pukes kesepian dan kesejukan dalam kawah gelap gulita. Berilah dia cahaya kehidupan! Pemda Aceh Tengah dan Bener Meriah adalah Wali yang bertanggungjawab melindungi dan menjaga martabat Laut Tawar dan Takengon sebagai kota turist bertarap internasonal. Ironis memang. Terlepas dari ada orang yang mencemari, mengotori dan mengacuhkannya. Tokh Laut Tawar masih tetap berdiri tegar, masih ramah menyapa, membagi sejuk, menawarkan senyum, pasrah dan ikhlas memberi apa saja yang dimilikinya. Sesekali ia bangkit bersaksi -protes- lewat Belambidé-nya, yang justeru menelan korban, sosok yang tidak pernah menyusahkan dan menyakitinya.
Yusra Habib Abdul Gani *) Director Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark.
Foto by: Ardi
Posted by: ILG 002
by lintasgayo.com