Pernahkah anda membayangkan melakukan agro wisata di Takengon?. Lantas agro wisata apa yang paling “wajib” di lakukan di Dataran Tingga Gayo ( Datiga) ?. Jika anda tak menemukan jawaban pasti, barangkali anda lupa, bahwa Takengen adalah Kabupaten Kopi di Indonesia bersama Kabupaten Bener Meriah, pecahan dari Kabupaten Aceh Tengah.
Jika di daerah lain, perkebunan hanya berada disebuah kawasan khusus, karena kopi menginginkan geografis di dataran tinggi, maka sepanjang kawasan Aceh Tengah dan Bener Meriah, hamper semua kawasannya adalah dataran tinggi, tempat paling ideal bagi kopi.
Maka, janganlah heran, di Takengon dan Bener Meriah, sepanjang mata memandang, sepanjang kawasan gunung dan bukit, hanya ada satu komoditi andalan, yakni kopi dan kopi. Sejarah kopi di Gayo, berusia seratusan tahun lebih sejak diintroduksi Belanda pertama sekali.
Menurut Wiknyo, seorang pensiunan Penyuluh Pertanian di Takengon, Belanda saat menjajah sudah melakukan kajian ilmiah tentang peta lahan kopi paling ideal di Gayo. Berdasarkan kajian ilmiah Belanda ini, dengan parameter diantaranya, ketinggian tempat dan kandungan hara tanah, Belanda membuat perkebunan resmi negara dibawah controlnya.
Maka dikenallah perkebunan kopi Paya Tumpi hingga Redines (Kelupak Mata) , seterusnya ke Bergendal yang kini masuk wilayah Bener Meriah. Sementara di kawasan Barat Takengen, Belanda memetakan Belang Gele, Burni Bies, Pucuk Deku, Tapak Moge, Burni Bius, Arul Gele yang masih satu kawasan perbukitan Gunung Berapi, Bur Salah Nama.
Di bagian Utara hingga ke Timur, gunung Berapi Salah Nama, merupakan kawasan perkebunan kopi rakyat, seperti perkampungan Bukit Menjangan, Tawardi 1 dan 2, Win Nongkal , Sukajadi, Jaluk hingga Kute Panang.
Semua kawasan ini , merupakan kawasan perkebunan kopi rakyat di kemiringan tebing Bukit dan Gunung, dimana kopi adalah tumbuhan utama sebagai sumber nomor satu ekonomi warga.
Selasa (8/11) Ba’da Zuhur, perjalanan agrowisata kopi dimulai dari Paya Tumpi. Menggunakan kenderaan roda dua, bersama Wiknyo yang kini meneliti berbagai varietas kopi di Gayo, kenderaan bergerak melewati jalan elak Paya Tumpi –Tan Saril.
Beberapa puluh meter dari Jalan Takengon-Bireun kearah Bebesen, jalan elak ini sdah diaspal dan diberi lampu jalan yang menyala.Dari Bebesen selanjutnya menuju Umang-Belang Gele, yang tersisa hanya kawasan perumahan warga dan jalan.
Selebihnya, disetiap rumah tangga yang ada, langsung diisi batang kopi dengan pelindungn petai dan jarang-jarang diselingi pohon jeruk, alpukat dan beberapa jenis tanaman keras lainnya.Rumah penduduk Kabupaten kopi Gayo, berada disisi jalan yang umumnya sudah diaspal.
Selebihnya, adalah perkebunan kopi. Kopi tumbuh disepanjang kawasan bukit dan gunung, kecuali yang berada diatas kemiringan diatas 40 derajat yang tidak mungkin ditanami kopi karena terlalu terjal. Kawasan seperti ini biasanya adalah hutan lindung yang masih terjaga.
Memasuki kawasan perkampungan Burni Bies, kopi-kopi terlihat berdaun sangat hijau dengan baris-baris yang rapi an teratur.Mersah-mersah atau langgar terlihat disetiap tumpuk kampong disepanjang sentra kopi specialty ini.
“Dari daun kopi kita mampu membaca bahwa kawasan Burni Bies ini merupakan kawasan yang ideal bagi kopi dengan suhu optimum”, papar Wiknyo sambil mengamati daun dan buah kopi yang tertutup daun.
Sepertinya, tak ada kawasan yang benar-benar datar disini. Kalaupun ada lahan yang datar, biasanya dijadikan sekolah, mersah, Pustu atau fasilitas public lainnya tempat warga biasanya berkumpul.
“Umumnya kopi disini adalah jenis arabika (Coffea Arabica) varietas Timor-timur”, ungkap Wiknyo. Kopi arabika Gayo, merupakan salah satu varietas kopi terkenal dunia bersama puluhan varietas kopi dunia lainnya.
Varietas kopi dunia yang terkenal antara lain seperti, – Kopi Kolombia (Colombian coffee) – pertama kali diperkenalkan di Kolombia pada awal tahun 1800. Saat ini kultivar Maragogype, Caturra, Typica dan Bourbonditanam di negeri ini. Jika langsung digoreng, kopi Kolombia memiliki rasa dan aroma yang kuat. Kolombia adalah penghasil kopi kedua terbesar di dunia setelah Brasilia. Sekitar 12% kopi di dunia dihasilkan di negara ini.
Colombian Milds — Varietas ini termasuk kopi dari Kolombia, Kenya dan Tanzania. Semuanya adalah jenis kopi arabica yang telah dicuci. Biji kopi yang belum digoreng dari varietas C. arabica
- Costa Rican Tarrazu — dari (en)“San Marcos de Tarrazu valley” di pegunungan di luar San José, Costa Rica.
- Guatemala Huehuetenango — Ditanam di ketinggian 5000 kaki di bagian utara Guatemala.
- Ethiopian Harrar — dari Harar, Ethiopia
- Ethiopian Yirgacheffe — dari daerah di kota Yirga Cheffe di provinsi Sidamo (Oromia) di Ethiopia.
- Hawaiian Kona coffee — ditanam di kaki pegunungan Hualalai di distrik Kona di Hawaii. Kopi diperkenalkan pertama kali di kepulauan ini oleh Chief Boki. Ia adalah gubernur Oahu pada tahun 1825.
- Jamaican Blue Mountain Coffee — dari Blue Mountains di Jamaika. Kopi ini memiliki harga yang mahal karena kepopulerannnya.
- Kopi Jawa (Java coffee) — dari pulau Jawa di Indonesia. Kopi ini sangatlah terkenal sehingga nama Jawa menjadi nama identitas untuk kopi.
- Kenyan — terkenal karena tingkat keasamannya dan rasanya.
- Mexico – memproduksi biji kopi yang keras.
- Mocha — Kopi dari Yemen dahulunya diperdagangkan di pelabuhan Mocha di Yemen. Jangan disalahartikan dengan cara penyajian kopi dengan coklat.
- Santos – dari Brasilia. Memiliki tingkat keasaman yang rendah. (en) Sumatra Mandheling dan Sumatra Lintong — Mandheling dinamakan menurut suku Batak Mandailing di Sumatra utara di Indonesia. Kopi Lintong dinamakan menurut nama tempat Lintong di Sumatra utara.
- Kopi Gayo (Gayo Coffee) — berasal dari Dataran Tinggi Gayo — Gayo adalah nama Suku Asli di Aceh — yang meliputi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah dan Gayo Lues.
Kopi Gayo kini sudah dilindungi secara hokum dengan perlindungan Indikasi Geografis (IG) sehingga klaim atas merek kopi Gayo tidak bisa dilakukan oleh perseorangan atau perusahaan manapun karena Kopi Gayo merupakan kawasan geografis khusus dimana kopi Gayo tumbuh . Merek Kopi Gayo adalah merek Geografis yang dimiliki oleh masyarakat petani kopi Gayo.
- Sulawesi Toraja Kalosi — Ditanam di daerah pegunungan tinggi di Sulawesi. Kalosi adalah nama kota kecil di Sulawesi, yang merupakan tempat pengumpulan kopi dari daerah sekitarnya. Toraja adalah daerah pegunungan di Sulawesi tempat tumbuhnya kopi ini. Kopi dari Sulawesi ini memiliki aroma yang kaya, tingkat keasaman yang seimbang (agak sedikit lebih kuat dari kopi Sumatra) dan memiliki ciri yang multidimensional. Warnanya coklat tua. Kopi ini cocok untuk digoreng hingga warnanya gelap. Karena proses produksinya, kopi ini dapat mengering secara tidak teratur. Walau demikian biji yang bentuknya tidak teratur ini dapat memperkaya rasanya.
- Tanzania Peaberry — di tanam di Gunung Kilimanjaro di Tanzania. “Peaberry” artinya biji kopi ini hanya satu dalam setiap buah. Tidak seperti layaknya dua dalam satu buah. Ini biasanya tumbuh secara alami pada 10% dari hasil panen kopi.
- Uganda – Meskipun sebagian besar penghasil kopi robusta. Ada juga kopi arabika berkualitas yang dikenal sebagai Bugishu.
- Kopi Luwak- salah satu varietas kopi Arabika yang telah dimakan oleh luwak (Musang) kemudian dikumpulkan dan diolah. Rasa dan aroma kopi ini khas dan menjadi kopi termahal di dunia.
Memasuki kawasan Burni Bius, sebuah lokasi perkebunan kopi milik Dinas Perkebunan Aceh Tengah, menarik perhatian. Konon lagi, Dinas Perkebunan mengelola lebih dari 60 hektar.
Jumlah lahan milik Pemda ini terus menyusut. Sebelumnya tidak kurang dari 80 hektar kebun kopi dikelola Disbun. Meski dikelola dinas perkebunan, lahan perkebunan ini tidak berbeda nyata dengan kebun warga setempat.
Malah kopi yang berada di komplek perkebunan ini tampak tak terawat. Menurut penjaga “Kebun Pemda” ini, penguasaan lahan berupa pinjam pakai lahan perkebunan ini dipegang kelompok tani warga setempat.
“Hampir seratusan warga Burni Bius dari berbagai kampong mengelola kebun ini”, kata penjaga kebun ini. Parahnya, hingga menjelang akhir tahun 2011 ini, Dinas Perkebunan baru memperoleh pemasukan dari puluhan hektar kebun kopi ini hanya Rp.12 juta.
Tidak adanya pengawasan yang ketat dan peraturan terhadap para pengelola kebun daerah ini membuat petani yang mengerjakan lahan pemda ini menyetor sesuka hatinya terhadap hasil kopi.
Padahal dalam ikat kontrak dengan Dinas Perkebunan, hasil kopi yang dikelola warga dibagi dua hasil kopi. Alhasil, tidak ada hal yang membanggakan yang dihasilkan dari asset pemda ini kecuali berbagai masalah dalam pengelolaan kebun.
Selain tidak jelasnya pemasukan PAD dari sector perkebunan kopi milik Pemda ini, kebun kopi ini juga bukan merupakan lokasi penelitian kopi. Konon lagi berharap adanya penangkaran kopi atau plasma nutfah kopi disini. Serta berbagai kajian ilmiah tentang kopi Gayo.
Aceh Tengah sebagai Kabupaten Kopi di Aceh, tidak memiliki data base kopi serta pusat pengkajian serta penelitian kopi. Padahal keberadaan kopi Gayo sudah melewati masa 100 tahun lebih sejak Zaman Belanda.
Pemda tampaknya belum mengurusi sector kopi secara ilmiah dengan perencanaan yang berkelanjutan serta dukungan SDM serta dana yang memadai setiap tahunnya. Masalah persoalan di kebun daerah ini saja tidak mampu diselesaikan sehingga puluhan hektar kebun daerah tak berarti banyak bagi petani kopi Gayo serta kemajuan penelitian kopi yang dampaknya langsung kepada perekonomian petani kopi.
Padahal, Belanda sudah menjadikan kawasan Burni Bius sebagai sebuah lokasi perkebunan kopi dengan kualitas terbaik dari segi rasa dan aroma ke pasar Erofa kala itu. Penelitian Balai Arkeologi Medan (Balar) menunjukkan bahwa di Burni Bius pernah menjadi pusat pengolahan kopi Belanda yang ditandai dengan berbagai beka peninggalan bangunan Belanda.
Tak jauh dari lokasi perkebunan Pemda, sebuah mata air panas kini menjadi lokasi pemandian warga setempat. “Menurut cerita orang tua, lokasi pemandian air panas ini sudah dipakai Belanda sebagai tempat pemandian. Namun hingga pemandian ini tidak terurus dan ditelantarkan”, kata seorang warga setempat.
“Adanya sumber air panas menunjukkan adanya aktipitas gunung berapi di lokasi ini sehingga kopi yang dihasilkan sangat special”, kata Wiknyo. Di lokasi ini juga ditemukan bunker tempat Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara mengamankan diri dari kejaran Belanda di era awal kemerdekaan.
Dari lokasi Jamur Barat, Burni Biuslah , Syafruddin Prawiranegara kemudian pindah ke Rime Raya Bener Meriah dan mendirikan pemancar Radio Rime Raya yang mengumandangkan bahwa Indonesia masih ada dan sudah merdeka. Karena Belanda sudah mengetahui keberadaan Syfaruddin di Jamur Barat Burni Bius.
Bersebelahan dengan komplek perkebunan Pemda di Burni Bius, yang berada di pinggir Jalan Takengon-Angkup sedang dibangun komplek perkantoran serta perumahan pekerja bagi perusahaan asing dan dalam negeri yang memenangkan tender Proyek PLTA 1 dan 2 yang tampak dipagari seng serta dijaga ketat.
—-
Selepas Shalat Ashar, perjalanan dilanjutkan menuju Kampung Arul Gele. Sebuah kawasan pegunungan yang dipenuhi kebun kopi dan kawasan hutan yang masih asli. Perpaduan perkebunan kopi dan hutan ini menciptakan iklim mikro yang sangat ideal sehingga dihasilkan kopi specialty juga.
Wiknyo memeriksa sebuah batang kopi jenis Timtim. “Melihat buah dan cabang kopi ini, saya yakin perbatang kopi disini bisa menghasilkan tidak kurang dari satu kaleng kopi”, jelas Wiknyo.
Asumsi ini didasari pada penelitian Wiknyo yang menghitung bahwa dalam satu gugus (bongkol) buah kopi terdapat 18 buah kopi. Dalam satu cabang kopi terdapat rata-rata delapan bongkol.
Angka ini tinggal dikalikan berapa cabang yang terdapat dalam satu batang kopi sehingga bisa diprediksi hasil kopi dari satu batang. “Dalam satu bamboo takaran kopi dengan buah kopi ukuran normal, terdapat 700 buah kopi. Khusus untuk kopi timtim ukuran besar, satu bamboo kopi berisi 450 buah kopi”, ulas Wiknyo.
Di lokasi ini, satu hektar kebun petani kopiyang terawat dengan baik mampu menghasilkan 100 kaleng lebih persekali panen dengan jarak waktu setiap panennya rata-rata 2 minggu.
Jika dikalikan harga kopi sekarang perkaleng gelondong merah Rp.110 ribu, maka setiap panen petani menghasilkan tidak kurang dari Rp. 11 juta. “Ada petani kopi yang menghasilkan hingga 400 kaleng sekali panen”, ujar Wiknyo.
Sepanjang lokasi perkebunan kopi rakyat yang dipetakan Belanda ini, tampak kemandirian warga secara ekonomi yang ditandai dengan bentuk bangunan permanen dan semi permanen.
“Rumah tangga dari keluarga yang baru menikah, ditandai dengan rumah sederhana yang terbuat dari bahan kayu dan berukuran lebih kecil. Ini dalam bahasa Gayo disebut Jawe (pisah) dari keluarga induk dan mulai menggarap kehidupan yang mandiri dari perkebunan kopi “, kata Wiknyo.
Memasuki kawasan perkampungan Wihni Doren, Kecamatan Silih Nara, menurut warga setempat, akses jalan yang dipakai dari Wihni Doren ke Atu Gajah Belang Gele merupakan jalan yang pernah dipakai Belanda dahulu menuju Takengon.
“Belanda memakai jalan ini dari Pesisir – Ketol- Wihni Doren-Belang Gele-Takengon”, ujar Awan Hendra, seorang kakek warga setempat. Meski begitu, kata Awan Hendra, jalan ini terlambat dibangun Pemda.
Padahal jika memakai jalaur jalan ini ke Takengon dari Kecamatan Silih Nara, dapat menghemat waktu. Magrib, tiba di Atu Gajah . Kawasan ini merupakan kawasan perkebunan tertinggi untuk Kampung Belang Gele dan Kecamatan Silih Nara.
Kawasan hutan masih terjaga di Atu Gajah meski beberapa lokasi di kemiringan lahan ini sudah mulai juga dirambah untuk dijadikan kebun kopi. Udara sangat menusuk dan angin bertiup lebih kencang di puncak Atu Gajah.
Di beberapa view kawasan pegunungan Atu Gajah, tak kalah indahnya dengan Gunung Gede di kawasan puncak Bogor. Di Atu Gajah sangat ideal dijadikan kawasan perkemahan dan outbound lainnya karena perpaduan hutan dan perkebunan kopi.
Masih banyak kawasan lain yang indah dan eksotik di Dataran Tinggi Gayo yang belum diolah dan dijadikan kawasan wisata. Menunggu sentuhan tangan-tangan terampil yang paham SDM dan menjadikannya lokasi agrowisata menarik dan menantang yang memacu adrenalin.
Pulang setelah Magrib dari Atu Gajah yang indah dan begitu dekat dengan langit.Dari Atu Gajah, Takengon terlihat begitu kecil dengan penerangan lampu yang memenuhi lembah Takengon.
Suara binatang malam Atu Gajah yang berkabut dan dingin, digantikan deru kenderaan memasuki Belang Gele. Beberapa warga tampak menggiling kopi buah merah untuk dijadikan kopi gabah dihalaman rumahnya yang ditemani temaram lampu. Panen kopi di pagi hingga sore hari. Malam diolah dan difermentasikan untuk keesokan harinya dijemur dan dijadikan kopi labu dan green bean. Begitu aktipitas petani setipa hari sepanjang tahun di Gayo.
Segelas espresso kopi arabika yang berasal dari kawasan Bergendal Simpang Teritit dengan pemanis Gula aren Serule Kecamatan Bintang menutup malam Rabu dan berusaha menepis dingin dengan pahitnya kafein . Meneguk kopi dari tanah tinggi yang kaya rasa dan aroma. Kopi specialty yang memacu adrenalin dan merengkuh asa tentang kopi di hari esok. Selamat malam Gayo. (Win Ruhdi Bathin)
by lintasgayo.com