Banda Aceh – Taman Hutan Raya (Tahura) Cut Nyak Dhien yang terletak dikawasan Saree-Seulawah kondisinya kritis karena perambahan liar oleh sekelompok warga. Tahura yang mempunyai luas 6220 hektar, kini sekitar 50 persennya sudah mengalami kerusakan. Dinas Kehutanan & Perkebunan (Dishutbun) Propinsi Aceh berencana membuat pagar pembatas Tahura agar pengelolaan Tahura dapat dilaksanakan dengan baik.
Hal ini terungkap dalam pertemuan antara pengurus WALHI Aceh dengan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Aceh, Ir Fakhruddin Panglima Polem, di ruang kerjanya, Kamis (30/9). Dalam pertemuan tersebut, turut hadir Direktur WALHI Aceh, T.M. Zulfikar dan beserta pengurus lainnya.
Fakhruddin dalam kesempatan tersebut menjelaskan tentang ancaman yang saat ini sedang dihadapi oleh Tahura Cut Nyak Dhien di pegunungan Seulawah. “Dishutbun telah berupaya untuk melindungi Tahura tersebut dengan berbagai program diantaranya pembuatan pagar kawat. Pagar ini maksudnya bukan supaya masyarakat tidak bisa melewati kawasan itu tapi untuk memperjelas batas kawasan,”ujarnya.
Sayangnya, upaya pembuatan pagar tersebut sepertinya mendapat gangguan dari oknum-oknum tertentu. “Patok pembatas banyak yang dicabuti, sehingga menghambat pembuatan,”katanya lagi.
Pemasangan kawat pembatas direncanakan sepanjang 10,2 KM. Saat ini menurut Fakhruddin, pihaknya sedang mengadakan sosialiasi kepada masyarakat tentang perlunya menjaga Tahura Cut Nyak Dhien tersebut.
Banyak rumah-rumah non permanen yang berdiri di dalam Tahura tersebut. Masyarakat membuat kebun dan ladang di tengah Tahura tersebut. Padahal daerah ini dulunya sama sekali tidak berpenghuni. Pasca konflik, perambahan semakin dalam ke daerah tersebut.
“Bukannya tidak boleh masyarakat berkebun di sana, tapi cabe, jagung atau tanaman kecil lainnya karena pengolahan lahan dapat merusak struktur tanah. Saya menyarankan masyarakat menanam tanaman keras seperti durian, karet atau kemiri, yang tidak perlu pengolahan,”jelas Fakhruddin.
Tahura Cut Nya Dien dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 1/Kpts-II/1998 Tanggal 5 Januari 1998. Selanjutnya ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.95 /Kpts-II/2001 Tanggal 15 Maret 2001.
Sementara itu Direktur Walhi Aceh, TM Zulfikar dalam kesempatan tersebut mengatakan bahwa Walhi ingin memastikan proses-proses penyelamatan lingkungan hidup bisa tercapai terutama dalam sektor kehutanan. “Persoalan-persoalan kehutanan harus didiskusikan bersama. Apalagi ditingkat nasional, Menteri Kehutanan sudah setuju hutan Aceh menjadi stressing hutan Indonesia,”katanya.
Kondisi hutan Seulawah saat ini memang sangat mengenaskan. Setiap pelintas yang melewati jalan Banda Aceh – Medan di gunung Seulawah dapat dengan mudah melihat perambahan hutan secara nyata. Jika dulu para perambah masih “malu-malu” merambah hutan, hanya di bagian dalam yang tak terjangkau dengan pandangan mata, kini terang-terangan perambahan terjadi persis di pinggir jalan raya.
Mulai dari pembukaan kebun hingga tempat wisata telah dibangun pada lahan-lahan yang sebenarnya merupakan kawasan hutan lindung. Pihak berwenang sepertinya tidak mampu berbuat banyak melihat kenyataan ini. Padahal di tengah-tengah hutan Seulawah tersebut ada markas Brimob yang berdiri dengan megahnya. (rls-Junaidi Mulieng)
by detak-unsyiah.com