III

Yosokai Sohran | bandatourism.blogspot.com

03.48
0 komentar


Iwan Aramiko - HARI itu udara sangat panas menyenggat hingga ke kulit, wajah Ikue Kurotaki berkeringgat ketika sedang memberikan arahan kepada para penari. Kuma, begitu ia disapa.

Siang itu pukul 12.25 sejumlah  orang berpakain hitam memakai ikat kepala  putih berkumpul di gedung Gelanggang Unyiah. Semuanya berjumlah delapan belas orang, tiga diantaranya warga Negara Jepang dan selebihnya pelajar SMA dan Mahasiswa,  mereka tergabung ke dalam tim yang akan menarikan tarian khas Jepang.

Mereka membentuk segitiga seperti mata panah,”Tarian ini tidak hanya dimainkan oleh delapan belas orang saja, semakin banyak pemainnya, maka semakin menarik untuk dilihat, “ kata Kuma.

Kuma adalah warga Negara Jepang , sudah hampir setahun ia bersama kedua rekannya Takayuki Sakata dan Atsuko Iwasaki berada di Aceh. Mereka datang ke Aceh untuk memperkenalkan budaya dan bahasa Jepang.

Umurnya  20 tahun, kulitnya putih, rambutnya hampir sebahu. Ia juga mahir berbahasa Indonesia. “Saya belajar bahasa Indonesia tiga bulan disini,” unjarnya.
Begitu juga dengan Takayuki Sakata yang biasa akrab disapa Taka.

“Pertama sampai di Aceh saya gerogi, karena tidak bisa berbahasa Indonesia,” kata Taka sambil memegang segelas ocha (teh hijau).

“mengerti bahasa Indonesia, perlu waktu tiga bulan,” tambahnya.

Yosakoi Sohran, adalah nama tarian dari Jepang. “Tarian ini menceritakan tentang semangat nelayan di Hokaido yang sedang menangkap ikan, seperti cumi-cumi dan tuna,” katanya.

 Selain menggambarkan keperkasaan nelayan Jepang menangkap ikan, tarian ini juga mengajarkan bagaimana pentingnya kekompakkan dan kerjasama dalam melakukan hal apapun.

Mereka datang atas nama Ashinga Youth Foundation, sebuah lembaga di Jepang yang memfokuskan perhatian untuk membantu anak-anak yang telah kehilangan orang tuanya.
Sejak duduk di SMA sampai ke perguruan tinggi mereka telah mendapatkan beasiswa dari Ashinaga.

 “Sampai saat ini ada sekitar delapan puluh ribu anak yatim piatu yang telah mendapatkan beasiswa Ashinaga,” ungkap Taka.

“Anak-anak korban gempa bumi, tsunami, kecelakaan, perang, bunuh diri dan bahkan anak yang memiliki orang tua tetapi tidak dapat bekerja karena sakit juga dapat memperoleh beasiswa,” tambah Kuma.

Selain memberikan beasiswa kepada anak yatim dan piatu ,lembaga ini juga mengirimkan volunteer-volunteer ke berbagai negara di dunia, begitu juga dengan Kuma dan Taka. Mereka berhasil mendapatkan kesempatan untuk datang ke Aceh. 

Namun, tidak mudah bagi Kuma dan Taka untuk datang ke Aceh,  sebelumnya mereka harus benar-benar siap dengan lingkungan yang jauh berbeda dengan tempat asalnya, selain itu mereka juga harus berjalan sejauh 100 km di seputaran kota Tokyo sebagai tes kelayakan fisik.

20 April 2009 lalu  Kuma dan Taka pertama menginjakkan kakinya di Aceh. Lingkungan yang kurang bersih menjadi pusat perhatian mereka, “Disini masih banyak yang kurang bersih,” ungkap Taka.

Sebelumnya mereka akan ditugaskan ke Uganda, tetapi karena keterikatannya dengan anak Aceh korban Tsunami yang pernah datang ke Jepang beberapa tahun lalu akhinya mereka memilih Aceh sebagai tujuan.

Mahasiswa yang suka mengenakan  kaos bola ini juga menyukai  berbagai kebudayaan yang ada di Aceh. “Hal lain yang paling menarik bagi saya adalah tarian Aceh, semua tarian Aceh saya sukai. Selain itu saya suka adat perkawinanannya,  di Aceh masih terdapat pakaian adat yang digunakan dalam acara pesta perkawianan,” tutur Kuma.

 “Dulu setiap tahunnya dari tahun 2005 sampai tahun 2007 Ashinaga youth Foundatian menggadakan Summer Camps yang diikuti oleh  anak-anak dari berbagai  negara, salah satunya adalah Indonesia, saat itu kami  bertemu dengan anak Aceh korban tsunami, karena itulah kami ingin bertemu mereka kembali di Aceh,” ungkap Kuma.

“Ada seribu seratus  anak yang telah kehilanggan orang tuanya menggikuti Summer Camps, dari Jepang ada seribu orang dan dari luar ada seratus orang, kalau dari Aceh saat itu ada tiga puluh orang,” tambah Taka.

Summer camps  bertujuan untuk pemulihan mental anak-anak yang kehilangan orang tua akibat bencana.  Agar tidak terjadi dampak berkelanjutan bagi sang anak di masa yang akan datang, perlu suatu penyuluhan yang dapat membuat mereka lebih berpikir positif.

 “Kami memberikan penyuluhan kepada anak-anak yatim  piatu supaya nanti tidak ada dampak yang ditimbulkan,” papar Kuma.

“Ada sebahagian dari mereka ketika mati lampu, mereka masih ada yang ketakutan. jadi kita harus bisa memahami anak,” begitu tutur Kuma.

Selain memeberikan pengobatan mental, Ashinaga Youth Foundation juga membantu anak-anak dari berbagai Negara yang telah kehilanggan orang tua untuk dapat melanjutkan pendididkan di Jepang.

Didepan Kuma terdapat sebuah laptop yang telah koneksi dengan internet, kemudian ia membuka situs www.ashinaga.org. Nihon go ( bahasa jepang) dan English tulisan pada halaman depannya.

Keseluruhan isinya menggunakan huruf Jepang, dan beberapa photo remaja berlainan warna kulit.

“ Ini namanya Rahmad, ia sedang mempersentasikan sesuatu dan yang ini Mikial Maulita,” katanya sambil menunjuk kea rah destop.

Rahmad dan Mikial Maulita adalah anak Aceh yang mendapat beasiswa dari Ashinaga Youth foundation. ia  kuliah di Waseda University. 
 
Mulanya mereka hanya mengikuti kegiatan summer camp yang diadakan setiap tahunnya sejak tahun 2005 di Jepang, namun setelah mencoba menggikuti beberapa tes di Jakarta  akhirnya mereka dinyatakan lulus.

Tsunami  lima tahun silam banyak membuat anak-anak harus rela kehilangan keluarganya. Begitu juga dengan Rahmad dan Mikial, tetapi kesedihan mereka seolah-olah telah digantikan dengan senyum saat berada di Jepang.

Semenjak berada di Aceh Kuma  dan Taka tinggal di pasateren Abu Lambhuk, sebuah pasanteren yang terletak di daerah Blang Bintang. Keseharainnya mereka habiskan untuk mengajar bahasa jepang kepada anak-anak Aceh. Tidak ada biaya yang ia punggut dalam mengajar  bahasa jepang.

“Disini belajar bahasa jepang langsung dengan orang Jepang, dan tidak di punggut biaya,” ungkap Susan, salah satu murid kelas bahasa jepang.

“Setiap harinya  dari senin sampai kamis kami harus menempuh jarak yang jauh untuk mengajarkan bahasa Jepang, “ Kalau dari sini ke Abu Lambhuk mengahabiskan waktu  satu jam setengah,. Pertama harus jalan dari pasanteren ke jalan raya, kemudian naik labi-labi setelah itu dari kota naik damri,” ungkap Taka.

Pria berjenggot ini juga mahir melakukan shodou (seni kaligrafi dengan menggunakan huruf-huruf Jepang). “Sejak SMP saya sudah mulai belajar shodou,” unjarnya.
“semua anak Aceh aktif, jadi mereka bisa dapat banyak hal,” tambah Kuma.

Menurutnya, di Unsyiah sendiri harus memiliki communication centre  yang dapat menjebatani mahasiswa-mahasiswa menguasai bahasa asing dan terbuka bagi seluruh lapisan mahasiswa, tidak hanya terpaku kepada  satu  bahasa saja, namun berbagai bahasa yang ada di dunia.

Taka juga menambahkan, “ Bagunan-bagunan Unsyiah seperti gelanggang, atapnya ada yang bocor, itu perlu diperbaiki ,” tambah Taka.

Sayangnya Kuma dan teman-temannya harus kembali ke Jepang awal bulan maret.
Biasanya setiap tahunnya ada yang mengantikan. Tapi, untuk tahun ini ke Aceh tidak ada yang  datang.

Belum ada kerja sama antara pihak Ashinaga dengan beberapa perguruan tinggi di Aceh menjadi hambatan bagi mereka untuk dapat datang kembali ke Aceh.
  
“ Belum ada hubungan dengan IAIN dan Unsyiah, jadi tidak bisa dapat visa KITAS. Kalau pun ada untuk mendapatkan visa KITAS sangat mahal, mungkin sekitar enam sampai sepuluh juta,” keluh Taka.

If You Enjoyed This Post Please Take a Second To Share It.

You Might Also Like

Stay Connected With Free Updates

Subscribe via Email

0 komentar: