III

Sedihnya Pulau Kayu | bandatourism.blogspot.com

03.53
0 komentar


Hanya sehelai sarung yang melapisi tubuh pria berkulit hitam itu, tak ada alas kaki yang melapisi langkahnya mengantarkan kami ke gubuk barunya di desa Pulau Kayu. Dua orang gadis kecil sudah menunggu di depan pintu, seolah-olah sudah menyambut kedatangan kami.

Lapisan tikar pandan yang menemani kedatangan kami sore itu, tak ada perabotan yang berharga, kotak es yang biasa digunakan untuk melaut menjadi penghias ruangan depan rumah bantuan Jerman itu.

Rasa berontak berpadu dengan kerutan dahinya tergambar jelas ketika di tanyai tentang bantuan Tsunami. “ Rumah ini kami terima dari pemerintah Jerman, tak ada satupun bantuan yang kami peroleh dari pemerintah Indonesia, bahkan Raskin yang seharusnya menaji hak kami, kini entah kemana,” unjar Muhammad Nur, lelaki yang sehari-harinya berprofesi sebagai nelayan.

Desember 2004, Tsunami datang mengubah segalanya, mulai dari pekerjaan hingga rumah pun berubah begitu cepat hampir tidak dirasakan, tetapi ada satu hal yang tidak bisa kami dapatkan yang hilang dikala Tsunami, keluarga adalah hal yang sangat berharga dan tidak bisa kami peroleh. Itulah hal yang tergambar dari nelayan tua itu setelah Tsunami ketika peserta Intermediate Trainning menelusuri lebih jauh tentang kehidupan warga Pulau Kayu pasca Tsunami.

Tsunami telah membawa masyarakat Aceh dihujani oleh bentuan-bantuan dari dunia internasional, tidak heran kalau kita banyak melihat pegununggan disulap menjadi kawasan permukiman. Nama kampung-kampung baru pun mulai bermunculan mulai dari bahsa lokal sampai nama negara yang menjadi donor pembangunan rumah itu. Lihat saja di desa Pulau Kayu, setiap rumah di desa itu memiliki bentuk dan warna yang sama, sudah seperti konflek perumahan karyawan perusahaan, hanya saja perbedaannya adalah bentuk dan kualitas rumah tersebut.

Pemberian  dari ibu sendiri mungkin lebih terasa nyaman dibandingkan pemberian  dari orang lain, itulah yang terlintas dari sebahagian besar warga Pulau Kayu. Harapan, walaupun kecil untuk mendapat perhatian dari pemerintah menjadi harga yang mahal waktu itu, indahnya merasakan makanan yang disuapkan dari ibu adalah hal yang langka. Itulah sedikit mungkin membawa kita kepada kata-kata indah masa lalu yang penuh dengan makna, sesuai dengan penafsiran masing-masing orang.

Kecamatan Susoh desa Pulau Kayu di Aceh Barat Daya yang merupakan salah satu daerah yang tidak luput dari amukan Tsunami yang membawa perubahan besar seluruh aspek kehidupan masyarakat setempat. Masyarakat yang umumnya sebelum Tsunami berfropesi sebagai nelayan kini kehilangan mata pencahariannya. “ kami tidak mempunyai jaring lagi untuk melaut, kalaupun ada itu tidak seperti dulu, ikan yang kami peroleh hanya sedikit, disamping itu yang beli sedikit,” keluh M.Nur.

Tidak hanya M.Nur yang menjadi korban Tsunami yang bernasip buruk, ketika peserta pelatihan trainning PII mencoba mencari bekas-bekas Tsunami yang lain juga menemukan kasus yang serupa. Seorang tua renta ditemani anak semata wayangnya juga menjadi korban Tsunami.

Walaupun kami tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, kami tidak terlepas hubungan dengan nenek. Dengan harapan dapat menerima  bantuan, nenek mencoba menjelaskan segala pengalamannya dikala Tsunami, “ Kami bukan yang akan memberi bantuan, tapi kami hanya mencari informasi tentang masyarakat di sini,” sahut salah seorang peserta trainning dengan menggunakan bahasa Aceh.

Diding yang retak  menjadi pemandangan pulang usai menjalankan survei dari desa Pulau Kayu, di tambah dengan matahari tengelam menjadi komposisi yang serasi menggambarkan bagaimana keadaan desa itu.

Kepenakan dan rasa simpati seolah-olah hilang ketika mencicipi suguhan buka puasa di lokasi trainning, tetapi hal yang baru kami alami tidak dapat terlupakan dari benak kami, bayang-bayang desa Pulau Kayu selalu saja menganggu pikiran kami.

Keesokan harinya dengan gagasan salah seorang tentor, kami mencoba menggalang dana ke seluruh peserta trainning. Hari itu merupakan hari yang bersejarah bagi seluruh peserta trainning, kami mendapat misi baru ke desa Pulau Kayu, kali ini kami tidak melakukan survei, tetapi kami melakuakan tindakan sosial terhadap penduduk desa Pulau Kayu.

Kerjasama untuk mencari bantuan ke seluruh peserta training saat itu yang mencapai seribu orang menjadi pengalaman yang  sangat berharga bagi kami, walaupun uang yang kami kumpulkan tidak seberapa, tetapi jumlah itu sudah menbantu nenek.

Senang dan  rasa haru walaupun kami kurang mahir berbahasa Aceh menjadi kepuasan tersendiri melihat pemberian kami di terima dengan senang  hati oleh nenek. Suasana buka puasa bersama nenek menjadi hal yang sangat istimewa bagi kami, gelak tawa seolah-olah telah menghilangkan duka nenek ketika Tsunami.

If You Enjoyed This Post Please Take a Second To Share It.

You Might Also Like

Stay Connected With Free Updates

Subscribe via Email

0 komentar: