III

Didong Reje Linge | bandatourism.blogspot.com

03.24
0 komentar


Iwan Aramiko - Kedua tangannya ia kepakkan ke langit-langit, matanya tertuju ke segala arah. Ia bukan sedang mencoba jejak burung, akan tetapi lelaki tua itu sedang mencoba mendendangkan sebuah syair di atas sebuah bukit sambil memandang danau Lot Tawar.

Tampil serba sederhana dengan ikat pinggang kain sarung disanding dengan kopiah hitam ukiran kerrawang selalu menjadi gaya kemanapun ia pergi, tak terlalu rapi baju yang ia kenakan hanya kemeja yang kusut.

Ibrahim Kadir dilahirkan tahun 1942, tak begitu jelas di ingatannya hari dan tanggal kelahirannya.

“Beloh munekek ku laot tawar, nemah mudegel dele gule e
luge naru i wan tupuk kertal, takan bertangkat campur tepi
entah beloh gere ngok mulintang, ke ara muhalang geli ni ate
tereh takut tebetne gelumang laot nge terang bene jentekke
(pergi memancing ke laot tawar, membawa banyak ikan
Pendayung panjang dalam tumpukkan

Ayo pergi jangan tak ada halangan, bila ada halangan benci hati nya

Takut terhempas gelombang, laut sudah terang hilang jentiknya),”sajak didongyang keluar dari mulut polosnya.

Film dokumenter berdurasi 25 menit itu mengambarkan keindahan alam tanah Gayo dan menceritakan perjuangan seorang Ibrahim Kadir dalam mempertahankan seni didong di tengah semerautnya pemberontakkan yang dilakukan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia).

Didong adalah sebuah seni yang memadukan berbagai macam jenis tepukan ditambah dengan rangkaian syair-syair yang mengundang tawa dan haru.

Biasanya kesenian didong dimainkan oleh beberapa orang,yang membentuk dua kelompok dan masing-masing kelompok membentuk lingkaran. Kemudian dengan saling bergantian antara kedua  kelompok salaing membalas syair.

Dalam kesenian didong, pemeran utama yang menyampaikan syair-syair disebut sebagai “ceh” , untuk dapat menjadi seorang ceh tentunya tidak mudah, membutuhkan keterampilan khsusus agar dapat melantunkan syair didong. Sedangkan yang lainnya disebut “penepok”, penepok hanya berperan sebagai pemusik dengan cara menepukkan tangan.

Seorang antropolog dari Universitas Indonesia M.Yunus Melalatoa berpendapat dalam bukunya yang berjudul Didong pentas Kreativitas Gayo. Kata didong berasal dari kata dari kata denang atau kata donang yang dalam Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kata dendang.

Dalam sebuah buku yang berjudul Syariat dan Adat Istiadat III karya Mukthaman Bale, seni didong berawal dari gejolak pergerakan politik di Kerajaan Linge dan terkait dengan kesultanan Aceh di pesisir.

Sengeda dan Bener Merie adalah saudara sebapak dengan Raja Linge yang ke 14, Sengeda dan Bener Merie berasal dari negeri Jiran. Karena khawatir digantikan kekuasaan Raja Linge 14 dengan Sengeda dan Bener Merie, Raja Linge 14 berniat membunuh kakak beradik Sengeda dan Bener Merie tersebut. Raja linge 14 memerintahkan perdana menteri Kerajaan Linge Cik Serule untuk membunuh kedua kaka beradik tersebut. Namun, Cik Serule hanya berhasil membunuh Bener Merie sedangkan Sengeda tidak berasil ia bunuh. Untuk menunjukkan bukti kepada Raja Linge 14 bahwa Sengeda dan Bener Merie telah terbunuh, Cek Serule membunuh seekor kucing dan dikuburkan menyerupai kuburan manusia.

Sengeda, anak Raja Linge 13 suatu malam bermimpi bertemu dengan abang kandungnya Bener Merie. Dalam mimpi tersebut, Bener Merie memberi petunjuk kepada Sengeda untuk menemukan gajah yang berwarna putih di tengah hutan dan kemudian dipersembahkannya kepada Sultan Aceh Darussalam.
Suatu hari Sengeda menggambar gajah di pelepah rebung bambu, di hadapan putri Sultan Aceh Darusslam. Sang putri pun tertarik dengan gambar gajah putih yang digambar oleh Sengeda, sang putri memerintahkan agar gajah tersebut dibawa ke kutaradja.

Seekor gajah putih pun akhirnya dapat ditemukan dalam hutan, dan kemudia dibawa ke Kutaradja, ibukota kerajaan Aceh. Dalam perjalanan rombongan Cik Serule dan Sengeda berdendang dalam bahasa Gayo “Enti dong…enti dong (jangan berhenti),” sepanjang perjalanan, dan lama-kelamaan kata enti dong berubah menjadi didong.

Simbol gajah putih kini diabadikan dalam simbol Komando Daerah Militer Iskandar Muda dan nama Universitas Gajah Putih di Aceh Tengah, sedangkan nama Bener Merie diabadikan dalam nama sebuah kabupaten pemekaran dari kabupaten Aceh Tengah, yakni kabupaten Bener Meriah.

Pada masa perjuangan DI/TII kesenian didong pernah mengalami masa sulit, ketika perang mulai bergejolak di Aceh pelantunan syair didong pernah dilarang oleh aparat keamanan.

Beberapa ancaman kerap datang dari aparat keamanan saat itu, “Generasi ibrahim Kadir ditempa dalam kondisi yang tidak aman, mereka seperti dipenjara dalam menyalurkan rasa kasmarannya,”ungkap M. Yunus Melalatoa seoarang antropologi.

Melantunkan syair didong memang tidak mudah, membutuhkan waktu semalam suntuk untuk menyairkan didong, pada masa perkembangannya pada hajatan besar seperti pernikahan. Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman didong sering dipentaskan dalam acara perlombaan dan pagelaran kesenian yang seyogyanya didong dimainkan semalam suntuk kini dimainkan selama lima menit saja. Selain itu didong juga digunakan untuk menggalang dana pembangunan masjid. Layaknya sebuah pergelaran kesenian umumnya, didong juga membutuhkan penghayatan dan pemaknaan maksud dari pesan yang disampaikan.

Pada perkembangannya kesenian didong telah melahirkan banyak ceh-ceh, Sali Gobal(1915-1975), Ceh Tujuh, Ceh Semaun, Ceh Lakiki (M. Basir), Ceh Damha (Utih Serasah), Ceh Win Kol, Ceh Apit, M.din, Abdul rauf , Ceh To’et (Abdul Kadir).

Ibrahim Kadir mulai menulis sayir-syair didong sejak berumur sepuluh tahun, namum karena usianya yang sangat muda itu membuat masyarakat enggan menerima karya-karyanya. Akan tetapi setelah menunggu cukup lama, hampir tiga puluh tahun akhirnya karya-karya Ibrahim Kadir dapat mengisi ruang kosong kesenian Gayo. Diantara karyanya banyak yang dinyanyikan oleh gadis-gadis.

Keindahan alam Tanoh Gayo yang terbentang luas dengan hiasan danau lot Tawar adalah satu-satunya alasan inspirasi seorang Ibrahim Kadir, ”Danau ini seakan-akan memanggil saya, bagaimana saya dapat melupakan danau ini,“ ungkap Ibrahim tertawa girang.

M. Yunus Melalatoa mengatakan bahwa syair yang diciptakan oleh Ibrahim Kadir banyak yang mengandung unsur percintaan dan kasmaran, karena pada masanya ia berada pada generasi yang romantik.

Pada masa pemberotakan DI/TII pernah terjadi kontak senjata antara TNI dengan pasukan DI/TII saat sedang ada hajatan perkawinan. Malan itu terdengar letusan tembakan dari arah yang berlawanan, masing-masing dari mereka saling berbalas tembakan. Kontak sejata itu membuat malam yang seharusnya merupakan malam bahagia bagi mempelai, kini diisi oleh tamu yang membuat malam menajdi malam yang menakutkan. “Kami kan tidak mengundang mereka, saat ini sedang ada didong untuk acara anak kami yang menikah,” kata Ibrahim kepada aparat.

Namun, aparat TNI tidak mengubrisnya, pada saat yang bersamaan kesenian didong pun dilarang dimainkan.
 
“Stop, tidak boleh lagi ada itu,” kata si baret hijau dengan lantang.

Walaupun demikian semangat seorang Ibrahim Kadir menulisakan karyanya masih tetap berlanjut. Namun, ia menyayangkan bahwa didong sekarang adatnya sudah mulai luntur, tidak mengerti tentang apa yang ia lakukan.
Ia juga menambahkan bahwa ia akan terus menulis tentang syair-syair didong, tidak hanya itu tulisan seperti adat tentang upacara perkawinan pun ingin ia tuangakan dalam sebuah buku, dengan harapan generasi sekarang tahu bagaimana sebenarnya khasanah budaya Gayo.

If You Enjoyed This Post Please Take a Second To Share It.

You Might Also Like

Stay Connected With Free Updates

Subscribe via Email

0 komentar: