III

Romantisme Cot Panglima | bandatourism

21.51
0 komentar


Berbagai perubahan terjadi di Tanah Gayo. Jalan utama yang menghubungkan dataran tinggi itu dengan Bireuen sepanjang 101 km sedang diperlebar dan pada bagian tertentu dipotong guna menyingkat jarak tempuh. Wartawan Serambi Indonesia Biro Jakarta, Fikar W Eda, medio September 2011 menyusuri jalan itu dalam suatu perjalanan yang sangat berkesan. Catatan perjalanannya dituangkan dalam empat tulisan. Selamat membaca.


UDARA dingin menyergap ketika kendaraan meninggalkan Simpang Empat Bireuen, berbelok ke kiri menuju Jalan Gayo. Jalan itulah urat nadi ekonomi yang menghubungkan Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah dengan “dunia luar” di pesisir Aceh.


Krueng Simpo, tampak sangat gelap. Satu sepeda motor melaju dari arah berlawanan. Krueng Simpo, dulu tempat orang-orang melepas penat. Ada sungai di sisi kiri jalan. Aroma hutan mengepung penciuman. Jalanan basah oleh guyuran hujan. Waktu isya baru saja berlalu saat tiba di Cot Panglima. Seorang polisi berpakaian dinas menghentikan laju kendaraan. Sejumlah ekskavator sedang bekerja memindahkan bongkahan tanah.


Cot Panglima yang masuk dalam kecamatan Juli, Bireuen, berada di Km 29, sedang diperlebar. Dulu pernah ada sebuah bukit kecil yang terpacak di pengkolan tajam. Di dindingnya tertera tulisan Cot Panglima. Di atas bukit kecil itu terdapat sebuah tempat rehat. Banyak pengguna jalan Bireuen-Takengon singgah di sana melepas penat. Tak sedikit pula penduduk Bireuen datang menikmati alam pegunungan dengan hutannya yang lebat.


Kini, romantisme Cot Panglima telah berakhir. Bukit kecil itu rata dengan tanah, seiring dengan proyek pelebaran jalan. Ketika Aceh terbelit konflik, cerita Cot Panglima berubah menjadi narasi seram. Berbagai kisah tragis  berkembang di tengah masyarakat.


Hujan mengguyur renyai-renyai. Polisi telah mempersilakan kendaraan  yang datang dari arah Bireuen untuk melintas. Ada sekitar lima mobil yang mengekor di belakang. Jalan Cot Panglima kini sangat lebar. Sebelum pelebaran, melintasi di Cot Panglima harus ekstrahati-hati. Jalannya sempit. Kalau berpapasan dengan kendaraan besar, dibutuhkan ketelitian mengemudi, salah-salah bisa terjerembab ke jurang yang menganga di kiri jalan. Pada musim hujan, Cot Panglima adalah lintasan rawan longsor. Berulang-ulang peristiwa longsor menerjang Cot Panglima.


Proyek pelebaran Cot Panglima menghabiskan dana Rp 25 miliar. Bersumber dari Otonomi Khusus (Otsus) Aceh. Pelebaran jalan juga menyosor Bener Meriah sampai Aceh Tengah, menggunakan APBN 2011, juga sebesar Rp 25 miliar. Sejak 2009 jalur Bireuen-Takengon telah berubah status dari jalan provinsi menjadi jalan nasional.


Perjalanan di malam hari menuju Dataran Tinggi Gayo, menyimpan keasyikan tersendiri. Hawa dingin khas pegunungan mulai menerkam dari kisi jendela mobil yang terbuka.


Di Km 35, ada satu pos pemeriksaan. Itu adalah perbatasan antara Bener Meriah-Bireuen. Beberapa orang ngobrol di sana. Agaknya mereka adalah petugas perbatasan. Pos itu lumayan terang dengan cahaya lampu.


Tak lama berselang setelah melewati Km 35, dari arah depan muncul iringan bus penumpang ukuran besar. Bus-bus itu mengangkut penumpang ke Medan. Paling kurang tiap malam ada enam sampai delapan bus. Mulai kelas ekonomi sampai eksekutif dengan bangku model 2-1. Jalur Takengon-Medan terbilang gemuk. Bus-bus itu selalu penuh. Ini belum termasuk yang dingkut dengan taksi L-300. Di antara perusahaan bus yang melayani jalur tersebut adalah PMTOH, Kurnia, dan Pelangi. Dulu pernah ada bus PT Aceh Tengah yang didirikan 6 November 1946. Tapi sekarang telah “punah.”


Jalan menuju Dataran Tinggi Gayo sudah mulus dan lebar. Proyek pelebaran jalan akan terus berlangsung sampai ke Takengon. Jalur Bireuen-Takengon sepanjang 101 Km, selama ini ditempuh dalam waktu 3 jam-3,5 jam. Apabila seluruh pekerjaan pelebaran dan rehabilitasi rampung, jarak tempuh bisa lebih singkat. Dengan kecepatan rata-rata 60 km per jam, berarti hanya dibutuhkan waktu 1,5 jam untuk mencapai Bireuen. Boleh jadi, suatu saat orang Gayo pagi-pagi sekali pergi ke Bireuen membeli pulut panggang. Atau sebaliknya orang Bireuen mandi pagi di Lut Tawar.


Jalan Bireuen-Takengon baru bisa dilalui mobil, setelah dibangun  pemerintah kolonial Belanda pada 1903 dan selesai pada 1916.  Belanda juga membuka perkebunan kopi seluas 20 ribu hektare (ha) berikut pabrik pengolahan dan perkebunan pinus dan pabriknya di Bandar Lampahan dan Lampahan. Radius perkebunan kopi tersebar lebih kurang 40 km dari pabrik. Kebun kopi dan pinus mulai berproduksi 1930-an. Belakangan, Belanda juga membuka kebun teh seluas 15 ribu ha di Redelong dan berproduksi pada 1940-an. Munculnya tiga perkebunan besar itu, dengan sendirinya membuka isolasi Tanah Gayo.


Jalan-jalan baru dibuka ke sentra-sentra produksi. Bersamaan dengan itu mengalir para pendatang yang dipekerjakan Belanda pada perkebunan-perkebunan tersebut. Tenaga buruh itu mayoritas didatangkan dari Pulau Jawa dan beberapa tenaga terdidik lainnya berasal dari Sumatera Barat, Mandaliling, dan Tionghoa. Sejak itu arus barang dan manusia dari dan ke Tanah Gayo berangsung-angsur ramai dan lancar. Putra-putra Gayo ada yang berangkat ke luar daerah menempuh pendidikan, sampai ke Pulau Jawa. Ini menandai era baru dalam arus perubahan besar kebudayaan Tanah Gayo. 
(***)

Editor : bakri
by aceh.trimbunnews.com

If You Enjoyed This Post Please Take a Second To Share It.

You Might Also Like

Stay Connected With Free Updates

Subscribe via Email

0 komentar: