III

Memandang dari Singahmata | bandatourism

21.56
0 komentar


BAYANG-BAYANG Takengon, ibu kota Kabupaten Aceh Tengah menyeruak dari celah bukit Singahmata.Ribuan cahaya lampu bagai kunang-kunang membentuk garis lintang. Danau Lut Tawar menghampar tenang. Singahmata adalah tempat terakhir menatap Tanah Gayo, ketika berangkat ke perantauan. Seperti dilukiskan dalam puisi didong yang didendangkan pada malam pekat.

Penulis budaya Gayo, Almarhum AR Hakim Aman Pinan pernah mencatat ada 43  kampung di bagian utara dan 66 kampung di selatan danau. Terdapat 16 jenis ikan air tawar. Salah satunya ikan depik (Rosbora Leptosoma), jenis ikan manja yang konon hanya hidup di Danau Lut Tawar. Depik muncul pada musim-musim tertentu. Kepala ikan depik sedikit pahit, diyakini penawar sakit kepala ketika musim dingin tiba.

Singahmata berarti tempat singgah untuk mata memandang. Letaknya benar-benar strategis. Menjadi pintu masuk kota Takengon. Sebuah warung sederhana dibangun di sisi jalan yang menjulur ke jurang. Di atasnya ada sebuah taman rehat. Dengan bunga dan tempat duduk yang sama sekali jauh dari kesan artistik. Di tikungan Singahmata dibangun fasilitas penayangan “running teks” atau teks berjalan, bertuliskan “Selamat Datang di Takengon”. Ada lagi sebuah papan “pengumuman” menerakan tulisan “selamat datang di kota wisata Takengon.”

Takengon adalah salah satu kota wisata penting di Aceh. Setiap jengkal Tanah Gayo menyimpan keindahan. Gunung dan bukit. Perkebunan kopi rakyat. Kebun nenas Pegasing. Danau Lut Tawar dengan segala legendanya. Kesenian dan industri kerajinan kerawang gayo, semua menyiratkan betapa kota itu menyimpan keberkahan. Tapi benarkah kota itu telah siap menjadi sebuah kota wisata?

Tiap tahun di Takengon memang berlangsung atraksi pacuan kuda tradisional. Tapi tradisi itu “nyaris” hanya berhenti untuk agenda lokal saja. Sama sekali tidak ada usaha “menginternasionalisasikan” atraksi itu sebagai sebuah daya tarik untuk mendatangkan wisatawan luar.

Dulu, atraksi pacuan kuda berlangsung di Gelanggang Musara Alun. Sebuah tanah lapang yang berada di jantung Takengon. Pada musim pacuan kuda setiap Agustus, Takengon didatangi tamu-tamu dari kampung lain, khusus  merayakan peristiwa budaya tersebut. Selain pacuan kuda, ada juga atraksi lomba dayung perahu dan renang tradisional di danau. Malamnya diselenggarakan pentas didong jalu (tanding). Itu adalah sepekan yang padat bagi Takengon. Sekolah dan perkantoran seakan memperoleh toleransi beraktivitas separoh waktu.

Tapi entah kenapa arena pacuan kuda lalu dipindahkan ke Belang Bebangka, di pinggiran kota. Akibatnya, kemeriahan sebuah pesta budaya tak lagi identik dengan Takengon. Mestinya, pacuan kuda dikembalikan saja ke Musara Alun. Biarkan pada acara pacuan kuda seperti itu, Takengon menjadi sangat padat, macet, dan karenanya harus berjalan kaki saja. Biarkan Takengon merayakan pesta budaya dan wisata dengan segala atraksinya.

Di Takengon ada sebuah bukit. Buntul Kubu, namanya. Buntul Kubu dibangun oleh Belanda sebagai tempat penginapan. Berdiri di Buntul Kubu serta merta mata akan menyapu seluruh bentangan Danau Lut Tawar. Konstruksi bangunan  Buntul Kubu adalah kayu dan setengah beton. Arsitektur bangunannya khas Eropa. Sejak dulu Buntul Kubu nyaris tanpa perubahan. Bangunan aslinya tetap dipertahankan. Hanya saja, bangunan itu tak terawat baik. Begitu juga lingkungan sekitar, bersemak terurus. Oleh pemerintah daerah, Buntul Kubu pernah dijadikan penginapan. Tapi entah kenapa sekarang justru difungsikan sebagai Kantor Satpol PP. Tempat itu juga pernah dijadikan Museum Gayo. Tapi itu pun tak bertahan lama.

Terakhir terbetik berita, Museum Gayo akan kembali didirikan menggunakan sumber APBN 2011 dengan dana Rp 5 miliar. Tapi lokasinya tidak lagi di Buntul Kubu melainkan di Mess Time Ruang. Tempat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Tengah berkantor. Di mess itu ada bangunan “Umah Pitu Ruang” rumah adat Gayo. Namun, hingga bulan Oktober 2011 ini, belum ada tanda-tanda pembangunan museum tersebut. Padahal dana sudah tersedia.

Danau Lut Tawar dengan lapisan asap putih ditimpa matahari pagi, adalah hulu Wih Pesangan yang mengalir sampai Selat Malaka. Pesangan adalah sebutan untuk ikan yang melompat ke hulu pada satu aliran sungai deras. Cerita ini dituturkan Mirda Alimi. “Pesangan itu istilah  Gayo,” kata Mirda, pemerhati budaya Gayo yang sekarang menjabat Kepala Dinas Perhubungan Aceh Tengah.

Mirda lalu mengurai legenda asal muasal istilah Takengon. “Suatu ketika, datang orang-orang dari Waq di tepi Danau Lut Tawar. Mereka terpesona menyaksikan pemandangan menakjubkan. Takengon, dalam bahasa Gayo berarti, saat kusaksikan...” kata Mirda.  Ia mendapat kisah itu dari orang orang tua-dulu. Waq, salah satu kawasan dekat Linge Isaq. Kini komunitas itu dan turunannya bermukim di Kampung Toweren, salah satu kampung di bibir danau.

Danau Lut Tawar berada di ketinggian 1.205 meter di atas permukaan laut (dpl) dengan luas 46,5 Km persegi, atau setengah dari luas Danau Toba, Sumatera Utara.

Ir P.J Jansen seperti dikutip oleh C.Snouck Hurgronje menduga danau itu terbentuk akibat ada material yang hilang dari dalam gunung berapi. Lalu akibat kekosongan yang terjadi, dasar tanah turun ke pusat bumi. Hal ini terbukti bahwa tepi bagian utara dan selatan danau sangat curam.

Danau Lut Tawar dipenuhi dengan legenda. Kisah Putri Pukes, putri yang menjadi batu atau cerita Loyang Koro, terowongan batu menuju ke Linge. Bibir terowongan persis berada di tepi danau sebelah selatan. Belum lama ini penelitian arkeologi menemukan kerangka manusia dan beberapa benda budaya yang berusia 3.700 tahun di Mendale, di utara danau. Danau itu diapit beberapa gunung, salah satunya Bur Ni Birah Panyah, yang kelihatan anggun dipandang dari Singahmata.(fikar w.eda)

Editor : bakri
by aceh.trimbunnews.com

If You Enjoyed This Post Please Take a Second To Share It.

You Might Also Like

Stay Connected With Free Updates

Subscribe via Email

0 komentar: