III

Kabut di Enang-Enang | bandatourism

21.54
0 komentar


TIKUNGAN itu begitu tajam. Jalanan basah oleh hujan. Kabut tipis menyelimuti Tajuk Enang-Enang.Kendaraan melaju hati-hati. Malam kian pekat. Cahaya lampu mobil menyorot aspal hitam. Arul (lembah) Enang-Enang menganga dalam. Pada dinding tebing kusam tertera tulisan Tajuk Enang-Enang. Tulisan berlumut, tak terawat. Rumput liar menutupi dinding.
Pemandangan di Tajuk Enang-Enang tak banyak berubah sejak 20 tahun silam. Satu-satunya perubahan adalah adanya sebuah cermin cembung yang dipasang di ujung tikungan. Cermin itu untuk mengetahui datangnya kendaraan dari arah berlawanan. Tapi sayang, cermin itu kini pecah. Entah siapa yang jahil memecahkannya.

Tikungan Enang-Enang sering dijadikan tempat berfoto. Orang-orang Gayo perantauan selalu menyempatkan diri memperhatikan Enang-Enang.  Ada kesan khusus ketika melintasi tikungan itu. Tajuk Enang-Enang punya tiga tikungan yang sangat tajam. Kendaraan yang datang dari arah Bireuen maupun Takengon biasanya mengurangi kecepatan. Jurangnya dalam. Di dasar lembah (arul) ada aliran sungai yang berhulu dari Wih Peusangan. Sungai itu terus mengalir melintasi Krueng Mane dan bermuara ke laut lepas di wilayah Aceh Utara.

Tajuk dalam bahasa Gayo berarti bunga. Tajuk Enang-Enang secara harfiah berarti bunga enang-enang. Tapi Snouck Hurgronje, antropolog kolonialis Belanda, punya cerita lain. Katanya suatu ketika ada seorang anak Batak yang jatuh dari pinggir Enang-Enang. Anak itu berteriak, “Enang! Enang!” maksudnya (inang = ibu bahasa Batak). Sejak itu, lembah itu dinamai Enang-Enang.

Pemerintah Aceh pada 2012 merencanakan membangun jembatan yang menyatukan dua bukit Enang-Enang. Jembatan itu kelak diberi nama jembatan Tajuk Enang-Enang.

Hawa sejuk makin mencengkram tubuh. Sebelum mencapai Enang-Enang, ada suatu wilayah yang sangat terkenal sejak lama. Daerah itu bernama Belang Rakal. Belang artinya lapangan, padang luas (bukan  blang = sawah dalam bahasa Aceh). Belang Rakal terkenal sebagai perueren, padang penggembalaan kerbau. Sebelum Belanda membangun  Jalan Bireuen-takengon, Belang Rakal  berfungsi semacam terminal menuju Gayo. Jalan dari Peudada, Lhokseumawe, Juli semuanya bermuara di Belang Rakal. Pada era Gayo modern, Belang Rakal dijadikan pusat produksi daging sapi.

Tak jauh dari Enang-Enang terdapat Wih Ni Kulus dengan sungainya yang jernih dan dingin. Pada hari libur, Wih Ni Kulus menjadi salah satu tempat wisata lokal. Boleh juga digagasi pertunjukan seni di sana. Pasti penontonnya ramai datang dari kawasan sekitar  maupun dari Bireuen.

Sepanjang jalan Bireuen-Takengon dijumpai banyak kampung dan tempat yang menyimpan riwayat. Sebut saja Tenge Besi dan Gurilen. Tenge Besi, jika diindonesiakan “tangga besi” adalah tempat yang  dikisahkan dalam film hitam putih “Puisi tak Terkuburkan” karya Garin Nugroho. Film yang mendapat penghargaan internasional dalam Singapore International Film Festival tahun 2001 itu menceritakan luka peristiwa 1965 yang dialami penyair Gayo, Ibrahim Kadir. “Ada tujuh orang dieksekusi di Tenge Besi,” kenang Ibrahim Kadir. Di tempat itulah, para tahanan yang dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) dieksekusi. (fikar w.eda)

Editor : hasyim

by aceh.trimbunnews.com

If You Enjoyed This Post Please Take a Second To Share It.

You Might Also Like

Stay Connected With Free Updates

Subscribe via Email

0 komentar: