Oleh Hammaddin Aman Fatih
Ratusan suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, salah satunya adalah suku Gayo. Suku ini merupakan salah satu suku minoritas terbesar yang mendiami wilayah pedalaman Aceh. Asal-usul masyarakat Gayo yang mendiami gugusan pengunungan Bukit Barisan ini hingga sekarang masih diselimuti kabut misteri. Beberapa narasumber mempunyai pendapat yang bertolak belakang antara satu dengan yang lainnya.
Arti Gayo
Kata “Gayo”, antara lain, diungkapkan oleh seorang pakar yang berasal dari Brunai Darussalam, yaitu Prof Dr Burhanuddin. Dia mengatakan, kata Gayo dalam bahasa Melayu Brunai Darussalam dan Malaysia adalah “Indah” Kata ini hanya pantas diungkapkan/ dilontarkan pada saat-saat upacara tertentu.
Menurut sebuah informasi yang disampaikan secara turun temurun (kekeberen/bahasa Gayo), kata Gayo berasal dari kata “Garib “ atau “Gaib”. Hal ini dihubungkan dengan datangnya pertama sekali leluhur orang Gayo ke wilayah ini, yaitu pemimpin rombongan yang datang tidak nampak wujudnya, tapi suaranya kedengaran. Ada lagi yang menghubungkan kata Gayo dengan “dagroian” yang berasal dari kata-kata “drang- gayu “, yang artinya orang Gayo. Dan ada juga menyebut dengan sebutan pegayon, yang artinya mata air yang jernih.
Asal usul
Dari beberapa literatur yang penulis baca dan hasil diskusi dengan beberapa orang yang pernah mendengar cerita tentang asal usul orang Gayo dan dari tokoh-tokoh Gayo, secara umum penulis menyimpulkan bahwa leluhur rakyat Gayo berasal dari Asia, yaitu Tionghoa bagian selatan tepatnya daerah Yunan Utara dari lembah hulu sungai Yang Tze Kig. Mereka bermigrasi ke selatan memasuki daerah Hindia Belakang (Vietnam).
Suku Gayo adalah pecahan dari bangsa Melayu yang merupakan rumpun bangsa Austronesia yang termasuk ras Melayu Mongoloid. Mereka bermigrasi ke Indonesia pada gelombang I, kira-kira pada tahun 2000 SM - 2500 SM. Pendatang gelombang ini disebut Proto Melayu (Baca; Melayu Tua). Leluhur Suku Gayo masuk ke Indonesia melalui Semenanjung Melayu. Mereka masuk ke Sumatra dan membawa kebudayaan Neolithikum.
Mereka masuk ke Tanah Gayo melalui dua jalur. Pertama; melalui muara sungai peusangan yang berhulu ke danau Laut Tawar. Sehingga mereka disebut pegayon (air mata yang jernih). Hal ini juga diperkuat dengan ditemukannya kehidupan di dataran tinggi Tanoh Gayo di zaman prasejarah. Bukti ini dapat kita lihat dari hasil penelitian Madya Bidang Prasejarah Balai Arkeologi Medan yang menemukan adanya sebuah kehidupan manusia purba di Ceruk Mendale dan Loyang Putri Pukes. Proses hunian telah berlangsung di kawasan ini sejak periode mesolitik, 3.580 tahun yang lalu. Dan dalam penelitian tersebut, mereka juga menemukan kerangka manusia purba yang diyakini sebagai salah satu leluhur rakyat Gayo.
Kedua, masuk melalui jalur sungai Jambu Aye, kira - kira baru pada tahun 300 SM mereka menyingkir ke pedalaman wilayah Aceh. Hal ini disebabkan kedatangan Melayu Muda dari Kincir dan Kamboja. Dan juga dilatarbelakangi ekonomi, yaitu karena masyarakat tersebut bermata pencaharian mencari ikan dan bercocok tanam. Sebagian mereka ingin memperluas usaha dan menambah penghasilan, terus menyelusuri sungai tersebut sampai ke muara sungai yang ada di pedalaman.
Beberapa periode kemudian terjadi pembauran dengan pendatang - pendatang baru berikutnya yang menetap dan berkembang di tanah Gayo. Pertama, ini berhubungan dengan berdirinya kerajaan Islam Linge. Konon kabarnya Kerajaan Islam Linge didirikan oleh orang-orang keturunan Persia yang datang ke tanah Gayo. Ada sebuah informasi yang mengatakan, orang Gayo yang berada di daerah Serule merupakan keturunan mereka, yang mempunyai ciri - ciri fisik tinggi kurus dengan warna mata cokelat gelap dan berhidung mancung. Mereka ini berbeda dengan bentuk fisik orang Gayo kebanyakan.
Ketiga, ada sebuah informasi yang mengatakan, bahwa dulunya ada rombongan pengungsi dari wilayah kerajaan Majapahit yang menetap di sekitar daerah yang sekarang dikenal dengan sebutan daerah Penarun. Raut wajah mereka lebih mirip kejawaan. Informasi ini berhubungan dengan cerita yang berkembang di masyarakat tentang “ Legenda Keris Majapahit”.
Keempat, kedatangan orang Batak Karo yang menuntut kematian saudara mereka yang datang untuk melihat keindahan danau Laut Tawar. Mereka dibunuh oleh rakyat kerajaan Bukit. Hasil negoisasi akhirnya menyepakati sebagian daerah kerajaan bukit diberikan kepada mereka. Maka berdirilah kerajaan Cik Bebesen atau mereka sering disebut dengan sebutan Batak 27.
Kelima, era tahun 1900 - an dengan dibukanya lahan perkebunan di dataran tinggi tanah Gayo oleh Belanda. Karena kekurangan tenaga pekerja, pemerintahan kolonialisme Belanda mendatangkan pekerjanya dari daerah luar tanah Gayo, khususnya dari pulau Jawa.
Dengan perjalanan waktu dan adanya interaksi antara mereka, terjadilah pembauran melalui jalur perkawinan. Mereka inilah cekal bakal masyarakat Gayo yang sekarang tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu.
Penulis mengajak seluruh komponen lapisan masyarakat rakyat Gayo untuk melihat dan mengkaji kembali serta memperkenalkan kepada rakyat Gayo khususnya, kepada dunia luar pada umumnya, tentang sejarah yang telah lama terkubur oleh arus perjalanan peradaban zaman.
* Penulis adalah antropolog/dosen FISIP Universitas Gajah Putih - Takengon
Ratusan suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, salah satunya adalah suku Gayo. Suku ini merupakan salah satu suku minoritas terbesar yang mendiami wilayah pedalaman Aceh. Asal-usul masyarakat Gayo yang mendiami gugusan pengunungan Bukit Barisan ini hingga sekarang masih diselimuti kabut misteri. Beberapa narasumber mempunyai pendapat yang bertolak belakang antara satu dengan yang lainnya.
Arti Gayo
Kata “Gayo”, antara lain, diungkapkan oleh seorang pakar yang berasal dari Brunai Darussalam, yaitu Prof Dr Burhanuddin. Dia mengatakan, kata Gayo dalam bahasa Melayu Brunai Darussalam dan Malaysia adalah “Indah” Kata ini hanya pantas diungkapkan/ dilontarkan pada saat-saat upacara tertentu.
Menurut sebuah informasi yang disampaikan secara turun temurun (kekeberen/bahasa Gayo), kata Gayo berasal dari kata “Garib “ atau “Gaib”. Hal ini dihubungkan dengan datangnya pertama sekali leluhur orang Gayo ke wilayah ini, yaitu pemimpin rombongan yang datang tidak nampak wujudnya, tapi suaranya kedengaran. Ada lagi yang menghubungkan kata Gayo dengan “dagroian” yang berasal dari kata-kata “drang- gayu “, yang artinya orang Gayo. Dan ada juga menyebut dengan sebutan pegayon, yang artinya mata air yang jernih.
Asal usul
Dari beberapa literatur yang penulis baca dan hasil diskusi dengan beberapa orang yang pernah mendengar cerita tentang asal usul orang Gayo dan dari tokoh-tokoh Gayo, secara umum penulis menyimpulkan bahwa leluhur rakyat Gayo berasal dari Asia, yaitu Tionghoa bagian selatan tepatnya daerah Yunan Utara dari lembah hulu sungai Yang Tze Kig. Mereka bermigrasi ke selatan memasuki daerah Hindia Belakang (Vietnam).
Suku Gayo adalah pecahan dari bangsa Melayu yang merupakan rumpun bangsa Austronesia yang termasuk ras Melayu Mongoloid. Mereka bermigrasi ke Indonesia pada gelombang I, kira-kira pada tahun 2000 SM - 2500 SM. Pendatang gelombang ini disebut Proto Melayu (Baca; Melayu Tua). Leluhur Suku Gayo masuk ke Indonesia melalui Semenanjung Melayu. Mereka masuk ke Sumatra dan membawa kebudayaan Neolithikum.
Mereka masuk ke Tanah Gayo melalui dua jalur. Pertama; melalui muara sungai peusangan yang berhulu ke danau Laut Tawar. Sehingga mereka disebut pegayon (air mata yang jernih). Hal ini juga diperkuat dengan ditemukannya kehidupan di dataran tinggi Tanoh Gayo di zaman prasejarah. Bukti ini dapat kita lihat dari hasil penelitian Madya Bidang Prasejarah Balai Arkeologi Medan yang menemukan adanya sebuah kehidupan manusia purba di Ceruk Mendale dan Loyang Putri Pukes. Proses hunian telah berlangsung di kawasan ini sejak periode mesolitik, 3.580 tahun yang lalu. Dan dalam penelitian tersebut, mereka juga menemukan kerangka manusia purba yang diyakini sebagai salah satu leluhur rakyat Gayo.
Kedua, masuk melalui jalur sungai Jambu Aye, kira - kira baru pada tahun 300 SM mereka menyingkir ke pedalaman wilayah Aceh. Hal ini disebabkan kedatangan Melayu Muda dari Kincir dan Kamboja. Dan juga dilatarbelakangi ekonomi, yaitu karena masyarakat tersebut bermata pencaharian mencari ikan dan bercocok tanam. Sebagian mereka ingin memperluas usaha dan menambah penghasilan, terus menyelusuri sungai tersebut sampai ke muara sungai yang ada di pedalaman.
Beberapa periode kemudian terjadi pembauran dengan pendatang - pendatang baru berikutnya yang menetap dan berkembang di tanah Gayo. Pertama, ini berhubungan dengan berdirinya kerajaan Islam Linge. Konon kabarnya Kerajaan Islam Linge didirikan oleh orang-orang keturunan Persia yang datang ke tanah Gayo. Ada sebuah informasi yang mengatakan, orang Gayo yang berada di daerah Serule merupakan keturunan mereka, yang mempunyai ciri - ciri fisik tinggi kurus dengan warna mata cokelat gelap dan berhidung mancung. Mereka ini berbeda dengan bentuk fisik orang Gayo kebanyakan.
Ketiga, ada sebuah informasi yang mengatakan, bahwa dulunya ada rombongan pengungsi dari wilayah kerajaan Majapahit yang menetap di sekitar daerah yang sekarang dikenal dengan sebutan daerah Penarun. Raut wajah mereka lebih mirip kejawaan. Informasi ini berhubungan dengan cerita yang berkembang di masyarakat tentang “ Legenda Keris Majapahit”.
Keempat, kedatangan orang Batak Karo yang menuntut kematian saudara mereka yang datang untuk melihat keindahan danau Laut Tawar. Mereka dibunuh oleh rakyat kerajaan Bukit. Hasil negoisasi akhirnya menyepakati sebagian daerah kerajaan bukit diberikan kepada mereka. Maka berdirilah kerajaan Cik Bebesen atau mereka sering disebut dengan sebutan Batak 27.
Kelima, era tahun 1900 - an dengan dibukanya lahan perkebunan di dataran tinggi tanah Gayo oleh Belanda. Karena kekurangan tenaga pekerja, pemerintahan kolonialisme Belanda mendatangkan pekerjanya dari daerah luar tanah Gayo, khususnya dari pulau Jawa.
Dengan perjalanan waktu dan adanya interaksi antara mereka, terjadilah pembauran melalui jalur perkawinan. Mereka inilah cekal bakal masyarakat Gayo yang sekarang tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu.
Penulis mengajak seluruh komponen lapisan masyarakat rakyat Gayo untuk melihat dan mengkaji kembali serta memperkenalkan kepada rakyat Gayo khususnya, kepada dunia luar pada umumnya, tentang sejarah yang telah lama terkubur oleh arus perjalanan peradaban zaman.
* Penulis adalah antropolog/dosen FISIP Universitas Gajah Putih - Takengon
by aceh.tribunnews.com
photo by theglobejournal.com