III

Tangis Gayo 1904 | bandatourism

20.25
0 komentar



Pada tanggal 12 Februari 1904 pasukan Belanda telah tiba di daerah tujuan,yaitu di daerah Gayo Laut, kira-kira 50 kilometer dari Takengon. Tetapi begitu Belanda menginjakkan kakinya di desa dekat Ketol, di-sambut dengan pertempuran sengit yang pertama, dimana pasukan Belanda mengalami korban, baik mati maupun luka-luka.

Dalam perjalanan menuju Takengon, pasukan Belanda tidak henti-hentinya mendapat perlawanan, Sampai mereka berhasil membuat markasnya di desa Kung, kira-kira 7 kilometer ari Takengon. Dari markas yang baru didirikan ini, pasukan Belanda melakukan operasi m iliter di sekitar Gayo Laut. Walau perlawanan pasukan rakyat Gayo cukup sengit, dan hampir setiapdaerah yang dilalui pasukan Belanda ter-jadi pertempuran, tetapi akhirnya daerah Gayo Laut- pun jatuh ke tangan pasukan kolonial.

Setelah pasukan Belanda berhasil menguasai daerah Gayo Laut, operasi militernya maju menuju Gayo Lues, dimana pada tanggal 9 Maret 1904, pasukannya telah mencapai daerah Kla, yaitu daerah yang merupakan pintu masuk Gayo Lues. Berbeda dengan pertempuran di Gayo Laut, di sini rakyat memperkuat pertahanannya dengan benteng-benteng yang dibangun dari tanah

dicampur batu-batu. Di sekelilingnya dibuat pagar kayu berduri yang telah dibuat runcing, dan dilapisi pula dengan tanaman hidup bambu berduri, yang oleh o rang Gayo disebut 'uluh kaweh' yang berlapis-lapis. Kemudian dipasang pula bambu runcing dan kayu runcing dalam bentuk ranjau-ranjau.

Di bagian dalam benteng dibuat lobang-lobang per-lindungan, lubang pengintaian lubang penembak di bagian dinding-dinding benteng. Selain itu dibuat pula lubang perlindungan untuk wanita dan anak-anak di dalam benteng tersebut. Dengan cara ini, benteng per tahanan rakyat Gayo berusaha menahan serangan pasukan Belanda yang jauh lebih kuat dan modern.

Benteng-benteng semacam ini tersebar di daerah Gayo Lues dan Alas, serta tidak kurang dari sepuluh benteng yang besar dan kokoh yang dipertahankan mati-matian oleh rakyat Gayo, dalam pertempurannya dengan pasukan Belanda.

Salah satu bukti tentang pertempuran benteng yang dahsyat, yaitu benteng Gemuyang, setelah berhari-hari bertempur, akhirnya baru jatuh setelah rakyat Gayo sebanyak 308 orang tewas : antaranya 168 orang laki--laki, 92 orang wanita dan 48 orang anak-anak. Sedangkan yang luka-luka sebanyak 47 orang: antaranya seorang pria, 26 orang wanita dan 20 orang anak-anak. Hanya 12 orang yang tertangkap hidup-hidup, dimana 3 orang wanita dan 9 orang anak-anak. Sedangkan korban dari pihak pasukan Belanda hanya dua orang tewas dan 15 orang luka-luka berat.


Kuta Reh
Pertempuran di benteng Reket Goib antara pasukan penyerbu dengan pasukan rakyat Gayo lebih berimbang, sehingga korban yang jatuh di kedua belah pihak cukup banyak. Di pihak rakyat Gayo telah meninggal dunia sebanyak 148 orang: antaranya 143 orang pria, 41 orang wanita dan anak-anak, hanya seorang laki-laki dan dua orang wanita yang tertangkap hidup-hidup oleh Belanda. Korban di pihak pasukan Belanda: 7 orang mati, diantaranya 2 orang perwira dan 42 orang luka--luka berat, diantaranya 15 orang perwira.



Rekep Goib
Pertempuran dari benteng ke benteng yang tersebar di daerah-daerat Gayo tidak kurang dari sepuluh buah banyaknya, dengan korban ribuan rakyat Gayo yang mati terbunuh. Hanya dengan cara itu pasukan Belanda dapat menaklukkan Gayo, sehingga pada tanggal 2 Ju ni 1904, Van Daalen berhasil mengumpulkan penghulu--penghulu Gayo sebanyak dua belas orang untuk
memaksa mereka takluk kepada penguasa kolonial Belanda.

Setelah daerah Gayo berhasil ditundukkan, maka pada tanggal 13 Juni 1904 pasukan Belanda melanjutkan serangan ke daerah Alas, dengan sasaran utamanya desa Batu Mbulen dimana tinggal seorang ulama besar ber-nama Teungku Haji Telege Makar dengan pondok pesa ntrennya. Mendengar kedatangan pasukan Belanda mau menyerbu kaum muslimin, dengan pimpinan para ulama mereka mengosongkan desa tersebut dan semua-nya berkumpul di benteng Kute Reh yang telah disiap-kan jauh sebelum pasukan musuh datang.

Pertempuran dahsyat dan bermandikan darah berlangsung berhari-hari antara pasukan musuh dengan pasukan kaum muslimin di benteng Kute Reh tersebut. Benteng Kute Reh jatuh ke tangan pasukan Belanda, setelah 561 orang pasukan yang mempertahankan benteng itu tewas, diantaranya 313 orang pria, 189 orang wanita, dan 59 orang anak-anak. Yang luka-luka sebanyak 51 orang, antaranya 25 orang wanita dan 31 orang anak-anak, yang tertangkap hidup-hidup dua orang wanita dan 61 orang anak-anak. Sedangkan di pihak musuh hanya dua orang mati dan 17 orang luka-luka berat.



Kuta Reh.
Pada tanggal 20 Juni 1904 pasukan Belanda dibawah pimpinan Van Daalen sendiri melanjutkan penyerbuannya ke benteng Likat. Pertempuran sengit bermandikan darah berlangsung dahsyat dan ngeri. Sebab pasukan Belanda main bantai tanpa pandang bulu, sehingga 43 2 orang mati terbunuh, diantaranya 220 pria, 124 wanita, dan 88 orang anak-anak. Yang luka-luka berat dan ringan sebanyak 51 orang, diantara-nya 2 orang pria, 17 orangwanita dan 32 orang anak--anak, yang tertangkap hidup-hidup hanya anak-anak sebanyak 7 orang. Dipihak pasukan musuh yang mati hanya seorang dan 18 orang tentara luka-luka, termasuk Letnan Kolonel Van Daalen dan Kapten Watrin.

Daerah Alas dapat dikuasai pasukan Belanda setelah jatuhnya benteng Lengat Baru pada tanggal 24 Juli 1904, dengan korban yang sangat besar di pihak rakyat Alas, di mana 654 orang tewas, diantaranya 338 orang pria dan 186 wanita serta anak-anak 130 orang. Sedang-kan yang luka-luka seorang pria, 16 orang wanita dan 32 orang anak anak. Di pihak musuh hanya 4 orang matidan 28 orang luka-luka.



Keganasan Pasukan Marsose dari yang tergabung prajurit Belanda, Jawa, Menado dan Ambon Yang dipimpin oleh Van Daalen. Sebagaimana telah terjadi di daerah-daerah lainnya di Aceh, jika pertempuran terbuka telah tidak mungkin dilakukan, karena kekuatan yang tak seimbang dengan pasukan musuh, maka 'perang gerilya' merupakan satu-satunya jawaban untuk melumpuhkan pasukan Bela nda. Di Gayo dan Alas pun berlaku hal yang sama. Apalagi daerah Gayo dan Alas adalah daerah
ber-gunung-gunung dan berhutan lebat, sehingga 'perang gerilya' yang dilakukan rakyat Gayo dan Alas sangat menguntungkan. Dan sebaliknya pasukan Belanda tidak pern ah bisa tinggal tenteram di daerah-daerah yang didudukinya, karena mendapat serangan gerilya.

Walaupun perang kontra gerilya dengan pasukan marsose yang dianggap berani dan kejam, sebagaimana digariskan oleh Van Heutsz, dinilai berhasil dengan gemilang, tetapi tidak berarti pasukan gerilya muslimin Aceh dianggap pengecut dan senantiasa kalah. Bahk an terkadang pasukan gerilya muslimin Aceh jauh lebih berani dan lebih lincah dari pasukan marsose yang paling dibanggakan. Hal ini terbukti dari pengalaman salah seorang komandan marsose yang paling terkenal, Kapten M.J.J.B.H. Campion, yang pada tahun 19 04 di daerah Meulaboh di pantai barat, dengan kekuatan se-tengah divisi melakukan penyerbuan terhadap pasukan gerilya Teuku Keumangan dan kakaknya, Teuku Johan.

Pada bulan Maret 1904 sebuah kolonne yang terdiri dari enam brigade marsose, yaitu kira-kira 160 orang tentara, masuk ke dalam jebakan pasukan gerilya muslimin yang berkekuatan sebanyak 300 orang gerilyawan. Dengan gerak cepat dan ketangkasan yang luar bi asa, pasukan gerilyawan muslimin Aceh ini menyerang dengan kelewang dan rencong terhadap pasukan marsoseyang terjebak itu. Seluruh pasukan Belanda sebanyak 160 orang tentara mati terbunuh, ter-masuk Kapten Campion yang mati karena luka-luka berat.

Pasukan gerilyawan muslimin Aceh masih terus efektif melakukan serangan-serangan terhadap pasukan Belanda di daerah-daerah seperti Lhong, dimana pada tahun 1925 dan tahun 1926 dan kemudian pada tahun 1953 telah berkembang menjadi 'perang terbuka'. Untuk m engatasi kekuatan gerilyawan muslimin Aceh ini, pemerintah kolonial Belanda mengumpulkan kembali bekas-bekas pasukan marsose dari seluruh Hindia Belanda. Operasi-operasi pasukan marsose di sungai atau di darat seringkali terjebak oleh pasukangerilya-wan muslimin, sehingga dapat dihancurkan secara total. Bahkan bivak-bivak rahasia pasukan marsose sering diserang dan dibakar oleh pasukan gerilyawan.

Idola gerilyawan muslimin Aceh terlukiskan dalam person tokoh ulama Aceh Teungku di Tiro Syeikh Saman. Ia mempunyai lima orang pntera, yang tertua bernama Muhammad Amin, yang gugur pada pertempuran dengan pasukan Belanda pada tahun 1896. Empat orang puter a lainnya dan dua orang cucu semuanya gugur sebagai syuhada pada pertempuran antara tahun 1904 dan 1911.

Pada bulan Desember 1909, Letnan B.J. Schmidt mendapat perintah untuk menyerang pasukan gerilyawan muslimin Tiro di daerah Tangse. Menurut taksiran, kekuatan pasukan gerilyawan muslimin Tiro ini berjumlah 250 orang. Dengan menggunakan dua brigade pasukan marsose, Schmidt secara sistimatis me-nyerang dan menangkap pasukan gerilyawan muslimin Tiro, di mana pada tahun 1909 dan 1911 dapat dikatakan hampir seluruhnya tertangkap.

Keberhasilan pasukan Belanda dalam menumpas pasukan gerilyawan muslimin Tiro ini karena pengkhianatan orang-orang Aceh sendiri, yaitu para kaum bangsawan yang menjadi kolaborator Belanda. Tetapi tidak seorang pun dari pimpinan gerilya-wan muslimin Tiro in i yang menyerah hidup-hidup. Akhirnya keturunan Syeikh Saman, tokoh gerilyawan muslimin Tiro, tinggal seorang lagi, seorang pemuda remaja yang terus bergerilya menyerang pasukan Belanda kafir.

Letnan Schmidt meminta bantuan tokoh--tokoh Aceh untuk bisa membujuk tokoh pemuda-remaja gerilyawan muslimin Tiro ini supaya menyerah dengan jaminan oleh Gubernur Jenderal tidak akan dijatuhi hukuman. Hasilnya, tidak mungkin menyerah. Hidup mulia atau mat i syahid itulah semboyan gerilyawan muslimin Tiro.

Pada bulan Desember 1911, perwira Marsose dengan pasukannya bernama Nussy menyerang tempat per-sembunyian gerilyawan muslimin Tiro yang terakhir, yang tinggal tiga orang saja lagi. Dalam serangan ini, dua orang dari tiga gerilyawan muslimin Tiro ini tewas menjadi syuhada, dan ternyata yang seorang itu ber-nama Cit Ma'az (Ma'at), adalah keturunan terakhir dari Syeikh Saman, tokoh utama perang Aceh. Dengan wafatnya Cit Ma'az, yang baru berusia lima belas tahun, maka berarti tiga generasi Teuku di Tiro di abadikan di dalam Perang Aceh.

Perang gerilya yang berkepanjangan tidak hanya dilakukan oleh gerilyawan muslimin Tiro, tetapi juga dilakukan oleh pasukan gerilyawan Teuku di Mata Ie, Teungku di Barat dan Pang Naggru di daerah-daerah sekitar Lhok Seumawe dan Lhok Sukon. Daerah medan-nya yang berubah-ubah dari gunung-gunungsampai ke laut, sangat memungkinkan pasukan gerilyawan muslimin ini dapatmelakukgn gerakan yang sulit untuk diketahui dan dikejar oleh pasukan Belanda.

Pasukan gerilyawan dibawah pimpinan Pang Nanggru , masih aktif sampai tahun 1910, pasukan gerilyawan Teungku di Barat aktif sampai tahun 1912. Sedangkan pasukan gerilyawan Teungku di Mata Ie masih terus aktif sampai tahun 1913, dan wafat pada tahun 1917 k arena luka-luka kena peluru.

Perang Aceh tidaklah berakhir pada tahun 1913 atau 1914. Dari tahun 1914 terentang benang merah sampai tahun 1942, alur perlawanan di bawah tanah. Perang gerilya, yang pada tahun 1925, tahun 1926, sampai tahun 1933 berkembang menjadi perlawanan terbuka lagi. Dengan demikian perang Aceh berlangsung mulai sejak tahun 1873, terus sambung-menyambung sampai tahun 1942, dimana Belanda angkat kaki untuk selama-lama-nya, adalah perang terlama di dalam sejarah perang kolonial Belanda di Indonesia. Perang Aceh yang me- landa hampir setiap daerah Aceh, dari mulai pantai sampai ke puncak- puncak gunung, dengan pertempuran tanpa henti dan lelah, adalah bentuk perang yang spesifik bagi Aceh.
\
Keberanian, pengorbanan dan daya tahan yang mengagumkan bagi setiap orang yang mempelajari sejarah Perang Aceh, adalah berkat keyakinan yang kokoh terhadap ajaran Islam, yang telah dimiliki sejak kelahiran Kesultanan Aceh pada tahun 1507.

by gayofoto.blogspot.com

If You Enjoyed This Post Please Take a Second To Share It.

You Might Also Like

Stay Connected With Free Updates

Subscribe via Email

0 komentar: