Petang itu
Ada seorang tua singgah
Matanya bernada gundah
Memandang puncak tugu...
Kini aku memang hanya sebuah tugu
Sering sepi
Berteman langit sunyi
Di tengah perkebunan kopi
Petang itu
Dalam cahaya tak begitu benderang
Orang tua itu tengadah
Seperti mencari sesuatu
Namun hanya bertemu
Dengan goresan berdebu
Dan tulisan beku
Di atas bongkahan batu
Tangannya yang keriput dan tua
Mencoba meraba dinding tugu
Yang juga keriput dan kusut
Seperti mengandung sedih
Gambaran riwayat perjuangan yang pedih
Ketika cahaya senja
Menyorot wajahnya yang tua
Mulut yang sejak tadi diam
Seperti gunung Buni Telong selama ini diam
Memuntahkan laharnya
Meluncurlah kata demi kata
Bercerita tentang Radio Rimba Raya saat mengudara
Di tahun sembilan empat puluh delapan
Pada Anggeresi Militer Belanda kedua dilancarkan
Saat itu Republik Indonesia
Mulai kembali dikuasai Belanda
Jogyakarta, ibunegeri Indonesia jatuh
Presiden Sukarno dan wakil presiden Hatta di tawan
Dr Beel komisaris tinggi yang mewakili Belanda
Juga memerintahkan
Bom dan hancurkan semua lapangan terbang
Angkatan udara Republik Indonesia
Bom dan hancurkan juga
Semua pemancar radio Republik Indonesia
Disetiap kota propinsi
Di seluruh Indonesia
Indonesia sudah kollep, runtuh begitu terdengar
Siaran radio Belanda berkoar-koar
Saat itulah Radio Rimba Raya
Yang berdiri di tengah hutan rimba
Di dataran tinggi Gayo letaknya
Perlahan bangkit mengudara
Kemudian menggelegar di udara
Bersuara keseluruh dunia
Dalam berbagai bahasa
Mengabarkan bahwa
Republik Indonesia masih ada
Pemimpin Republik Indonesia masih ada
Wilayah Republik Indonesia masih ada
Dan di sini Aceh masih siaga
Mendengar suara Radio Rimba Raya
Yang demikian terang dan nyata
Provokasi Belanda
Yang mulai merebak ke seantero dunia
Pupus seketika
Dan dunia percaya
Republik Indonesia masih ada
Masih ada
Puisi : LK. Ara
Banda Aceh-Takengon, 2-6 Juni 2011
by lovegayo.com