Mendale | Lintas Gayo :Tidak banyak yang dapat terucapkan saat menyaksikan pergelaran kesenian dengan tema “Inilah Gayo” yang digelar di atas lahan penemuan kerangka dan benda purbakala yang berusia 3500 tahun lebih, di Ceruk Mendale Kecamatan Kebayakan kabupaten Aceh Tengah.
Ratusan masyarakat dari berbagai kalangan dan seniman Gayo hadir menyaksikan pergelaran seni yang digagas tidak lebih dari tiga hari dan 0 anggaran. Purnama K. Ruslan, Ketua Dewan Kesenian Daerah (Dekate) Aceh Tengah menyatakan kebanggaannya sebagai orang Gayo atas acara tersebut, “ini acara luar biasa, dengan panggung alami dan bebatuan ceruk Mendale”, “Gayo punya peradaban dan sejarah luar biasa”, pungkas Purnama. (3/4)
Lantunan sajak LK. Ara dengan puisi “Terbaring di Ujung Karang” sebuah puisi yang dipersembahkan kepada seorang arkelog Badan Arkelogi Medan (Balar), Ketut Wiradyana, sebagai ucapan terima kasih atas jasa peneliti dan tim yang telah menemukan benda-benda purbakala di Loyang Mendale dan Loyang/ ceruk Ujung Karang.
Salman Yoga S, mengajak masyarakat untuk “Berguru pada Tanah”, yang dilantunkan lewat bait-bait puisi yang dibawakan penuh semangat, tak kalah dari LK Ara seniman Gayo yang telah banyak makan asam garam di pentas seni dalam dan luar negeri.
Aksi panggung seniman Gayo, yang lebih memukau penonton, saat Fikar W. Eda membacakan puisinya dengan berjingkrak-jingkak dan menari, yang diiringan dengan alat musik tradisional Gayo, berkisah bagaimana bebatuan ceruk Mendale berbicara mengisahkan sejarah Gayo ribuan tahun yang silam. Aksi Fikar diatas bebatuan tersebut, ternyata membuat LK Ara yang menyaksikan dan menikmati musik Gayo terenyah dan seketika kesurupan untuk tampil duet bersama Fikar, dengan spontan melumuri wajahnya yang mulai tidak kencang lagi dengan lumuran tanah Mendale yang berbaur kotoran kerbau, yang tersimpan didalamnya sejarah ribuan tahun.
Dengan sedikit tergopoh-gopoh, LK Ara meraih microfon, dan bersemangat meneriakan kebanggaannya membaca puisi di pangung alami yang terbuat beribu-ribu tahun yang lalu.
Pangung yang tidak ditata secara professional, tidak ada pencahayaan, tidak ada karpet merah, tidak ada manik-manik, tidak ada layar lebar, hanya dinding batu dan pangung tanah, namun didalamnya tersimpan bukti sejarah ada peradaban, etika dan kesopanan masa lalu.
Nasarudin pun berpuisi :
Aksi seniman Gayo di panggung bebatuan, tidak hanya menarik perhatian ratusan masyarakat, namun juga bagi Nasaruddin, Bupati Aceh Tengah yang datang diparuh waktu bersama Kabag. Humas Aceh Tengah. Windi Darsa.
Tanpa banyak berkata-kata tentang acara yang digagas panitia, dan tidak memberikan arahan maupun sambutan, namun Nasaruddin ikut membacakan puisi tanpa teks dan persiapan, puisi hadir secara spontanitas.
Gayo yang telah lama terdengar namamu
Gayo yang telah lama harum bau
3500 tahun yang lalu
Diatas pungung mu kami menangkap ikan
Diatas pungungmu kami memetik kopi
Diatas pungungmu kami mencincang daun tembakau
Kulitku, Tulangku, darahku Gayo
Tampak hadir diacara tersebut sejumlah pejabat Pemkab dan DPRK Aceh Tengah, Mukhlis Gayo, Aslan Abdul Wahab, H. Zulkifli dan sejumlah pegiat LSM.. Juga tampka Ketua Tim Peneliti dari Balai Arkeologi Medan, Ketut Wiradyana yang sengaja menunda kepulangannya ke Medan karena menilai acara tersebut terlalu manis untuk ditinggalkan. (wyra)
(foto : aman zaghlul)